Anonymous. Untuknya tak kutemukan julukan yang tepat
Tanah ini masih merah walau sudah tiga pekan berlalu sejak hari duka itu. Hujan yang mengguyur Jakarta membuat tanahnya tetap liat begitu. Bunga-bunga di atasnya sudah membusuk, perlahan mengurai dan menyatu dengan tanah merah di bawahnya. Dinda memandangi gundukan tanah merah itu dengan tatapan nanar, air matanya jatuh. Namun bukan sedih, apalagi kehilangan yang dirasakannya. Namun suatu rasa yang tidak dengan mudah dapat diungkapnya. Dinda menoleh sedikit pada nisan yang mengukir nama seseorang yang kini bersemayam dibalik gundukan tanah merah itu, seseorang yang untuknya Dinda tidak menemukan julukan yang tepat.
“Mbak udah kerja gini berapa lama?” tanya Kiki menyelidik.
“Udah lama, Mbak. Udah lima tahunan,” jawab seorang wanita yang kini duduk bersisian dengan Kiki, tepat dihadapan Dinda itu. “Aduh, Mbak. Ini beneran nggak ada kamera-kamera begituan ya.”
“Iya, Mbak. Kita bersih kok, kita cuma mau wawancara doang. Mbak tenang aja” Kiki mencoba menenangkan wanita itu, lagi.
***
“Mbak udah kerja gini berapa lama?” tanya Kiki menyelidik.
“Udah lama, Mbak. Udah lima tahunan,” jawab seorang wanita yang kini duduk bersisian dengan Kiki, tepat dihadapan Dinda itu. “Aduh, Mbak. Ini beneran nggak ada kamera-kamera begituan ya.”
“Iya, Mbak. Kita bersih kok, kita cuma mau wawancara doang. Mbak tenang aja” Kiki mencoba menenangkan wanita itu, lagi.
Dinda menatap wanita yang duduk dihadapannya itu dari sudut mata, enggan menatap langsung. Jijik pada potongan pakaian yang menurutnya tak layak disebut pakaian yang memperlihatkan seluruh lekuk tubuh wanita itu. Dinda tidak berlebihan ketika mengatakannya, lihat saja bagian tubuh yang seharusnya tidak untuk dipertontonkan itu hanya tertutup setengahnya saja, memamerkan dadanya yang menurut Dinda sama sekali tak seksi. Dinda bergidik ngeri melihat make-up tebal yang melapisi wajah kampung wanita itu. Berkali-kali ia menoleh ke kanan dan kiri mengalihkan pandangannya, risih dengan keberadaan wanita itu. Lebih tepatnya ia risih dengan keberadaannya di tempat ini, suatu tempat karaoke yang cukup terkenal di Kota Semarang, yang menyediakan layanan plus-plus semacam ini untuk pelanggannya. Ini semua ide gila Fian, yang kini duduk bersisian dengan wanita itu bersama Kiki. Dinda, Kiki, dan Fian, mereka bertiga satu kelompok dalam tugas akhir mata kuliah Psikologi Sosial berupa tugas wawancara komunitas yang laporannya harus berada di atas meja dosen pengampu dua minggu mendatang. Maka sebagai satu-satunya laki-laki dalam kelompok ini, Fian mencetuskan sebuah ide yang menurutnya cemerlang: mewawancari Ladies Call, sederhananya wanita panggilan, pekerja seks. Awalnya Fian menawarkan untuk langsung menemui mereka di lokalisasi, yang segera dibantah Dinda mentah-mentah dengan banyak pertimbangan. Sebenarnya Dinda sudah menawarkan beberapa ide lain untuk objek wawancara mereka, namun keingintahuan Fian terhadap dunia underground berhasil menarik Kiki untuk ikut mendukung idenya. Alhasil, di sinilah kini Dinda berada.
Wawancara itu berlangsung hingga sekitar dua jam lebih, diselingi candaan dan godaan-godaan Fian yang disambut hangat dengan sikap dan kata-kata genit dari wanita itu. Perut Dinda bergejolak setiap kali melihat adegan picisan dihadapannya itu, muak. Apa sih yang dipikirkan Fian dan Kiki? Dinda bertanya pada dirinya.
Tatapan Dinda kosong mengarah pada lemari pakaian di sisi lain dinding kamarnya. Sudah hampir empat jam ia seperti itu, sementara jarum jam masih terus berputar mendekati angka 2 dini hari. Sunyi. Tak terdengar suara apapun, gemericik air sisa hujan semalam pun sudah lama senyap.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…” Dinda berteriak histeris memecah bisu, menarik kasar rambut hitamnya yang panjang. Mencakar kuat kulit lengannya yang bening halus. Menyiksa dirinya, menyakiti tubuhnya. Ia melakukannya berulang kali dengan suara teriakan yang kian mengecil dan kemudian menghilang sama sekali, berganti isak tangis pilu. Dinda terduduk lemas bersandar di samping tempat tidurnya yang tak berbentuk. Kamarnya yang nyaman dan rapi seketika berubah kacau usai Dinda membaca pesan singkat dari seseorang yang untuknya. Dinda tidak menemukan julukan yang tepat beberapa jam yang lalu.
Uang untuk tiket sudah dikirim, segeralah pulang. Ibumu semakin jarang di rumah.
Sender: +628116040XXX
Bahkan Dinda tak menyimpan kontak orang itu, enggan sekali menyediakan tempat untuknya bahkan di memori ponsel sekalipun. Dinda sudah lama tak memanggilnya dengan julukan yang seharusnya, sudah lama sekali. Sejak dua tahun silam.
Kamar itu gelap, hanya temaram cahaya dari luar jendela yang sedikit membantu mata menelusuri sudut-sudutnya. Dinda terduduk lemas disudut kamar, memeluk erat selimut bergambar tokoh kartun favoritnya, tangisnya nyaris tak terdengar, lirih, namun menyayat. Adegan beberapa jam yang lalu masih tergambar jelas bak film yang diputar berulang-ulang dengan detail yang menyedihkan di depan mata Dinda.
Saat itu pukul 01.00 dini hari, Dinda tengah lelap dalam mimpinya yang tiba-tiba terganggu saat dirasakannya sentuhan ganjil di bagian tubuhnya. Dinda tak dapat bergerak banyak, begitu ia terbangun dan sadar tentang apa yang sedang terjadi dengan dirinya, semuanya sudah terlambat. Tangan kekar itu sudah menutup mulutnya dan menindihnya dengan kasar. Tak mempedulikan tangis kesakitan Dinda, putri satu-satunya, putri yang dinantinya setelah sepuluh tahun pernikahannya. Putri yang menggoda imannya. Putri yang kian hari kian bertumbuh dari putri kecil yang menggemaskan menjadi putri anggun nan cantik luar biasa. Pujian-pujian rekan bisnisnya selama ini memang tak meleset sama sekali. Dinda bertumbuh menjadi putri dengan rambut hitam panjang yang indah, kulit putih bening yang halus terawat, matanya sejuk menentramkan, hidung bangir yang bersanding dengan bibir mungilnya yang menggemaskan. Dinda tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik, secantik ibunya saat masih muda. Rutinitas monotonnya sebagai pengusaha ritel besar di Ibukota membuatnya jarang bertemu dengan ibunya Dinda yang juga bekerja di sebuah perusahaan otomotif luar negeri yang beroperasi di Ibukota, mengakibatkan ia sering tak mendapatkan kebutuhannya sebagai suami. Maka, demi melihat kecantikan Dinda yang memesona, ia bahkan tak memedulikan tangisan putrinya malam itu.
Dinda melirik sekali lagi ke ponselnya yang masih menunjukkan pesan singkat yang sama, kemudian beralih menatap berkas yang bertumpuk di atas meja belajarnya. Berkas dengan amplop cokelat itu adalah harapannya untuk lepas dari rasa jijik yang selalu mengantuinya tiap menginjakkan kaki di tempat yang disebut rumah itu. Berkas beasiswa S1 Psikologi Columbia University, USA. Dinda teringat lagi dengan wanita di karaoke tempo hari. Ia menatap jijik wanita itu bukan semata-mata karena profesinya yang memang hina di mata sebagian besar masyarakat, namun lebih dikarenakan ia melihat bayangan dirinya pada wanita itu. Lebih ekstremnya lagi, jika wanita itu melayani banyak lekaki ‘buaya’, Dinda hanya melayani satu lelaki yang bahkan ‘buaya’ pun masih terlalu santun untuk menjadi julukannya. Lelaki yang sebelum dua tahun lalu adalah lelaki yang sangat dihormati dan diseganinya.
“Maafkan, Bapakmu, Dinda. Ini semua salah Ibu,” seorang wanita paruh baya berkata sambil menyentuh pundak Dinda. Wanita paruh baya inilah yang tempo hari mengirimkan kabar tentang kematian orang itu setelah lebih dari dua puluh tahun tak pernah mereka bertukar kabar sama sekali.
Dinda menatap wanita paruh baya itu, sorot penyesalan tergambar jelas dari mata dan garis wajahnya yang masih saja menyisakan kecantikan masa muda, garis wajah yang diwariskan dengan sempurna oleh Dinda. Tak ada sorot kesedihan di mata Dinda, tidak untuk wanita dihadapannya itu sekalipun. Kepulangannya kali ini hanya sebuah bentuk pembebasan atas perasaan terluka yang justru menjadi cambuk penentu kesuksesannya saat ini. Luka yang dibuat oleh orang itu. seseorang yang untuknya Dinda tidak menemukan julukan yang tepat, karena julukan Bapak terlalu agung untuk diberikan pada laki-laki yang telah merenggut mahkota kegadisannya.
Dinda melangkah pergi, menepis tangan wanita paruh baya itu sebegitu saja, menggendong seorang bocah perempuan dengan wajah perbaduan wajah Mongol dan Kaukasia. Bola mata biru bocah itu persis dengan bola mata seorang laki-laki asing yang sedari tadi menggenggam tangan bocah itu, berdiri agak jauh dari gundukan tanah merah itu.
“Mom, who is that? Who was the deceased?” tanya bocah perempuan itu.
“I have no idea who is that, honey” jawab Dinda lirih. Bocah perempuan itu masih menatap ke gundukan tanah merah. Mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang tak dijawab oleh Dinda, ibunya, mencoba mencari penjelasan yang tak mampu ditelaah oleh otak kecilnya.
Wawancara itu berlangsung hingga sekitar dua jam lebih, diselingi candaan dan godaan-godaan Fian yang disambut hangat dengan sikap dan kata-kata genit dari wanita itu. Perut Dinda bergejolak setiap kali melihat adegan picisan dihadapannya itu, muak. Apa sih yang dipikirkan Fian dan Kiki? Dinda bertanya pada dirinya.
***
Tatapan Dinda kosong mengarah pada lemari pakaian di sisi lain dinding kamarnya. Sudah hampir empat jam ia seperti itu, sementara jarum jam masih terus berputar mendekati angka 2 dini hari. Sunyi. Tak terdengar suara apapun, gemericik air sisa hujan semalam pun sudah lama senyap.
“Aaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaaa…” Dinda berteriak histeris memecah bisu, menarik kasar rambut hitamnya yang panjang. Mencakar kuat kulit lengannya yang bening halus. Menyiksa dirinya, menyakiti tubuhnya. Ia melakukannya berulang kali dengan suara teriakan yang kian mengecil dan kemudian menghilang sama sekali, berganti isak tangis pilu. Dinda terduduk lemas bersandar di samping tempat tidurnya yang tak berbentuk. Kamarnya yang nyaman dan rapi seketika berubah kacau usai Dinda membaca pesan singkat dari seseorang yang untuknya. Dinda tidak menemukan julukan yang tepat beberapa jam yang lalu.
Uang untuk tiket sudah dikirim, segeralah pulang. Ibumu semakin jarang di rumah.
Sender: +628116040XXX
Bahkan Dinda tak menyimpan kontak orang itu, enggan sekali menyediakan tempat untuknya bahkan di memori ponsel sekalipun. Dinda sudah lama tak memanggilnya dengan julukan yang seharusnya, sudah lama sekali. Sejak dua tahun silam.
***
Kamar itu gelap, hanya temaram cahaya dari luar jendela yang sedikit membantu mata menelusuri sudut-sudutnya. Dinda terduduk lemas disudut kamar, memeluk erat selimut bergambar tokoh kartun favoritnya, tangisnya nyaris tak terdengar, lirih, namun menyayat. Adegan beberapa jam yang lalu masih tergambar jelas bak film yang diputar berulang-ulang dengan detail yang menyedihkan di depan mata Dinda.
Saat itu pukul 01.00 dini hari, Dinda tengah lelap dalam mimpinya yang tiba-tiba terganggu saat dirasakannya sentuhan ganjil di bagian tubuhnya. Dinda tak dapat bergerak banyak, begitu ia terbangun dan sadar tentang apa yang sedang terjadi dengan dirinya, semuanya sudah terlambat. Tangan kekar itu sudah menutup mulutnya dan menindihnya dengan kasar. Tak mempedulikan tangis kesakitan Dinda, putri satu-satunya, putri yang dinantinya setelah sepuluh tahun pernikahannya. Putri yang menggoda imannya. Putri yang kian hari kian bertumbuh dari putri kecil yang menggemaskan menjadi putri anggun nan cantik luar biasa. Pujian-pujian rekan bisnisnya selama ini memang tak meleset sama sekali. Dinda bertumbuh menjadi putri dengan rambut hitam panjang yang indah, kulit putih bening yang halus terawat, matanya sejuk menentramkan, hidung bangir yang bersanding dengan bibir mungilnya yang menggemaskan. Dinda tumbuh menjadi gadis yang sangat cantik, secantik ibunya saat masih muda. Rutinitas monotonnya sebagai pengusaha ritel besar di Ibukota membuatnya jarang bertemu dengan ibunya Dinda yang juga bekerja di sebuah perusahaan otomotif luar negeri yang beroperasi di Ibukota, mengakibatkan ia sering tak mendapatkan kebutuhannya sebagai suami. Maka, demi melihat kecantikan Dinda yang memesona, ia bahkan tak memedulikan tangisan putrinya malam itu.
***
Dinda melirik sekali lagi ke ponselnya yang masih menunjukkan pesan singkat yang sama, kemudian beralih menatap berkas yang bertumpuk di atas meja belajarnya. Berkas dengan amplop cokelat itu adalah harapannya untuk lepas dari rasa jijik yang selalu mengantuinya tiap menginjakkan kaki di tempat yang disebut rumah itu. Berkas beasiswa S1 Psikologi Columbia University, USA. Dinda teringat lagi dengan wanita di karaoke tempo hari. Ia menatap jijik wanita itu bukan semata-mata karena profesinya yang memang hina di mata sebagian besar masyarakat, namun lebih dikarenakan ia melihat bayangan dirinya pada wanita itu. Lebih ekstremnya lagi, jika wanita itu melayani banyak lekaki ‘buaya’, Dinda hanya melayani satu lelaki yang bahkan ‘buaya’ pun masih terlalu santun untuk menjadi julukannya. Lelaki yang sebelum dua tahun lalu adalah lelaki yang sangat dihormati dan diseganinya.
***
“Maafkan, Bapakmu, Dinda. Ini semua salah Ibu,” seorang wanita paruh baya berkata sambil menyentuh pundak Dinda. Wanita paruh baya inilah yang tempo hari mengirimkan kabar tentang kematian orang itu setelah lebih dari dua puluh tahun tak pernah mereka bertukar kabar sama sekali.
Dinda menatap wanita paruh baya itu, sorot penyesalan tergambar jelas dari mata dan garis wajahnya yang masih saja menyisakan kecantikan masa muda, garis wajah yang diwariskan dengan sempurna oleh Dinda. Tak ada sorot kesedihan di mata Dinda, tidak untuk wanita dihadapannya itu sekalipun. Kepulangannya kali ini hanya sebuah bentuk pembebasan atas perasaan terluka yang justru menjadi cambuk penentu kesuksesannya saat ini. Luka yang dibuat oleh orang itu. seseorang yang untuknya Dinda tidak menemukan julukan yang tepat, karena julukan Bapak terlalu agung untuk diberikan pada laki-laki yang telah merenggut mahkota kegadisannya.
Dinda melangkah pergi, menepis tangan wanita paruh baya itu sebegitu saja, menggendong seorang bocah perempuan dengan wajah perbaduan wajah Mongol dan Kaukasia. Bola mata biru bocah itu persis dengan bola mata seorang laki-laki asing yang sedari tadi menggenggam tangan bocah itu, berdiri agak jauh dari gundukan tanah merah itu.
“Mom, who is that? Who was the deceased?” tanya bocah perempuan itu.
“I have no idea who is that, honey” jawab Dinda lirih. Bocah perempuan itu masih menatap ke gundukan tanah merah. Mencoba mencari jawaban atas pertanyaan yang tak dijawab oleh Dinda, ibunya, mencoba mencari penjelasan yang tak mampu ditelaah oleh otak kecilnya.