Sheilla. Gadis dengan lily putihnya di jendela seberang sana

Aku membongkar pakaian dari dalam koper yang diletakkan di atas tempat tidur. Merapikan lipatannya, kemudian menatanya kembali ke sebuah lemari besar yang terlihat kosong, tak banyak pakaian yang mengisinya. Sudah hampir dua puluh tahun, dan tempat ini masih saja sama, tak berubah. Aroma kayu Marsawa dari langit-langitnya begitu khas di penciuman, wangi kain yang harum dan ruangan yang bersih tanpa debu. Padahal kamar ini tak berpenghuni sekian selama. Mama memang wanita luar biasa. Ia mengurus rumah ini masih sama telatennya. Tangan putihnya yang kini sudah baya masih lihai mengatasi setiap sudut rumah tipe 42 ini. Aku meninggalkan rumah ini sekitar lima hingga delapan belas tahun yang lalu, ketika keputusan Mama dan Papa untuk bercerai masih belum dapat dipahami oleh pemikiran kanak-kanakku. Yang kutahu kemudian adalah, aku pergi bersama Papa meninggalkan Mama. Menjadi kakak dari dua anak Papa dari wanita berbeda. Besar dan akrab dengan suasana kota Amsterdam. Papa melanjutkan bisnisnya dan membangun kembali keluarga di sana, bersama Margareth, ibu tiriku. Wanita yang di kemudian hari kuketahui menjadi penyebab perceraian kedua orang tuaku.

Papa meninggal dua bulan yang lalu saat musim semi. Bukan karena hal yang perlu dibesar-besarkan, hanya penyakit yang diderita kebanyakan orang tua sepertinya. Aku tak berminat melanjutkan bisnis Papa di bidang properti di Amsterdam sana. Aku lebih tertarik mengiyakan tawaran Mama untuk melanjutkan bisnis entertainment-nya. Mama dulu mantan model ibu kota. Wajah cantik dan tubuh indahnya lah yang memikat Papa pertama kali. Setelah menikah dan memutuskan berhenti dari pekerjaannya, Mama mendirikan sebuah sekolah seni yang kemudian menjadi manajemen entertainment besar di Indonesia. Banyak sudah model, artis, dan selebritis terkenal yang lahir dari manajemen milik Mama. Aku yang memiliki ketertarikan akan fotografi dan seni akting mencoba peruntungan di sini. Maka, empat hari yang lalu, menggunakan penerbangan kelas bisnis, aku menyeberangi dua benua. Meninggalkan Amsterdam dan kembali ke kampung halaman, Jakarta.

“Ini susu cokelat panas untukmu, Han. Mama taruh di sini ya” Mama memasuki kamar dengan segelas susu cokelat panas kesukaanku. Beliau meletakkannya di meja samping tempat tidur.

“Mama masih ingat saja. Thank you, Mom” aku meraih Mama ke pelukan dan mencium keningnya penuh kasih sayang. Margareth, ibu tiriku, bukanlah ibu tiri kejam seperti yang sering digambarkan dalam cerita-cerita masa kecil. Ia ibu yang baik, dalam budaya Eropa. Ia liberalis yang memberikan kebebasan bertanggung jawab pada aku dan dua anaknya. Ia ibu yang sempurna untuk John dan Maria, saudara tiriku. Ia membiarkan John dan Maria memilih sendiri sekolah mereka, gaya berpakaian, pasangan, pekerjaan, dan juga agama. Menganggap mereka telah dewasa dan mampu mengurusi diri masing-masing. Namun, darah Indonesiaku masih saja merindukan kasih sayang dan sifat keibuan khas Timur seperti ini. Perhatian dan perlakuan seorang ibu pada anaknya sepertinya anaknya abadi dalam usia tiga tahun. Kekanakan dan terkesan memanjakan, namun aku merindukannya. Aku memeluk dan mengelus punggung Mama. Betapa beruntungnya Dhani, adik laki-lakiku yang tinggal bersama Mama. Ia tentu merasakan kasih sayang dan perhatian seperti ini setiap hari. Mama adalah ibu terbaik.

“Hm…sayang. Kamu istirahat ya. Pasti jetlag kan, perjalananmu panjang. Air hangat di kamar mandimu sudah diperbaiki, mandi, trus istirahat. OK?” Mama menasehatiku. Aku mengangguk dan mencium keningnya sekali lagi .

Aku menikmati tiap tetes air yang membasahi tubuhku. Air hangat ini benar-benar membuat sel-sel tubuhku yang kaku setelah duduk lama sepanjang perjalanan seperti hidup kembali. Uap airnya kuhirup dalam, menyesapinya hingga menembus tulang. Menenangkan. Aku keluar hanya dengan mengenakan celana tidur panjang, dada yang masih basah kubiarkan telanjang begitu saja. Dengan melilitkan handuk di leher, aku tergoda dengan pemandangan di luar jendela. Aku berjalan mendekat. Kamarku ada di lantai dua. Berada di bagian kiri rumah, jendelaku berhadapan dengan rumah tipe serupa. Desain rumah sebelah hanya seperti pantulan desain rumahku dilihat dengan cermin. Tepat berseberangan dengan kamarku ada kamar pula. Berjarak sekitar dua puluh meter. Dan tepat di balik kaca jendela sana, tampak wajah seorang gadis sedang memainkan kelopak lily dalam pot kecil yang diletakan di tengah daun jendela. Jendela kamar ini di desain dengan kaca bening dan bukaan di atas, sama seperti kaca jendela di kamar seberang. Aku mengernyitkan dahi. Gadis itu cantik luar biasa. Cukup lama aku berdiri memandangi gadis itu, air yang jatuh dari helaian rambutku sudah membentuk segenangan kecil di lantai.

“Han, kamu mau langsung tidur atau makan dulu? Makan siang sudah siap. Kamu masih suka cumi asem manis?” suara Mama yang muncul tiba-tiba mengagetkanku. Kepalaku berputar enggan ke arah pintu, tampak sebagian tubuh dan kepala Mama muncul di sana, tidak masuk sepenuhnya ke kamar.

“Hah? Hm…iya, aku turun, Ma” jawabku. Kepalaku menoleh ke jendela di seberang sana sekali lagi sebelum akhirnya memutar tubuh dan melangkah keluar kamar mengikuti Mama.

Malam harinya, aku duduk di atas tempat tidur. Bersandar dengan meletakan bantal di tembok di belakangku. Pandanganku menerawang ke balik tembok di hadapanku. Beberapa jam yang lalu aku berdiri kembali di depan jendela, masih memandang ke jendela seberang. Gadis itu tak lagi di sana. Namun kelebat sosoknya terlihat mondar-mandir beberapa kali, menjadi siluet indah di balik lily putih yang kini sedang merekah. Aku terus memperhatikannya hingga kemudian ia mematikan lampu kamar, beranjak tidur sepertinya.

***

Aku meletakkan ransel dan tas kameraku di meja samping tempat tidur, melepas sweater merah dan menggantungnya di balik pintu. Kaos abu-abu ini mencetak tubuh bagian atasku dengan sempurna, jejak air di bagian punggung akibat keringat karena berpanas-panasan seharian sudah mulai mongering. Aku melalukan pemotretan untuk tiga model baru yang akan segera debut. Masih dengan arahan dan bimbingan Mama, aku mengambil foto dengan tema garden party di taman di depan gedung manajemen milik Mama. Terik matahari yang tak bersahabat di sini membuatku banjir keringat, aku masih belum terbiasa dengan iklim tropis Indonesia.

Sore ini sama seperti sore waktu pertama kali. Aku berdiri di depan jendela, memandang jendela seberang sana. Gadis itu selalu duduk memainkan lily-nya pada sore hari seperti ini. Entah ia menyadari atau tidak, aku selalu berdiri memandangi dari sini. Bahkan beberapa kali aku mengambil fotonya. Ia tidak terlihat terganggu. Padahal jika di kotaku dulu, tindakanku ini sudah dianggap penguntit dan bisa dituntut secara hukum. Tapi sudah tiga minggu, dan ia masih sama saja. Memangku wajahnya dengan tangan, dan tangan satunya lagi memainkan kelopak putih lily di pot kecilnya. Ia akan berganti posisi beberapa kali. Aku terus memperhatikannya. Dari tempatku memandang, yang dapat kuamati dengan jelas hanya kulit putih yang berkilau di bawah cahaya matahari sore dan rambut hitam panjangnya yang sedikit ikal. Aku ingat beberapa fotonya yang sempat kuambil beberapa hari lalu. Aku memperbesar foto dan memperhatikan wajahnya penuh kekaguman. Resolusi kamera profesionalku yang bagus membuat foto itu tetap utuh walau diperbesar hingga beberapa kali. Wajahnya putih, matanya kecoklatan, alis matanya tebal dan rapi, entah apa ia sengaja merapikannya atau memang alami begitu. Bulu matanya panjang dan lentik. Bibirnya mungil dan merah muda. Ia seperti putri raja yang menunggu pangeran di atas menara kastil yang dijaga monster-monster ganas. Aku tersenyum. Menikmati setiap gerakan bola mataku yang mengikuti gerakan tubuhnya.

Aku tak mengingat wajahnya. Sepertinya aku tak pernah mengenal ia sebelumnya. Tidak juga di masa lalu, sebelum aku pergi dari sini. Sepertinya ia dan keluarganya menghuni rumah sebelah setelah kepergianku beberapa tahun yang lalu. Malam itu aku memandangi fotonya sekali lagi. Matanya, hidungnya, kulit putihnya. Begitu memesona. Aku mengernyitkan dahi. Baru menyadari bahwa di semua foto yang kuambil, ekspresi gadis itu sama. Datar. Tanpa senyuman. Wajahnya seperti menyiratkan sebuah…kesedihan? Aku bertanya-tanya hingga kemudian jatuh terlelap dalam tidur malam.

***

Sudah dua hari, setiap sore di waktu yang sama, aku hanya memandangi jendela seberang yang kosong. Gadis itu tak terlihat. Hanya terlihat lily putih dengan pot kecilnya yang sedang berbunga indah. Aku menundukkan wajah. Sheilla. Gadis penghuni kamar seberang. Dhani memberitahuku dua hari yang lalu. Ia seorang penulis. Beberapa buku miliknya tergeletak di meja samping tempat tidur. Aku sudah selesai membacanya. Gadis itu anak tunggal. Kedua orang tuanya adalah pengusaha. Satu minggu yang lalu pengadilan negeri memutuskan keduanya bercerai setelah pertengkaran-pertengkaran yang terakhir sering terdengar dari rumah itu. Sheilla tidak siap dengan keputusan itu. Kedua orang tuanya terlalu sibuk dan jarang menghabiskan waktu di rumah. Sheilla merasa sudah cukup lama diabaikan. Hingga akhirnya Sheilla memilih untuk mengakhiri hidup dengan memotong pembuluh darah di pergelangan tangannya dua hari yang lalu. Aku mengetahui itu dari Dhani. Katanya semua itu tertulis di naskah novel yang baru saja diselesaikannya. Naskah dengan percikan darah Sheilla itu melengkapi novel-novelnya yang lain, yang bercerita tentang kesendirian dan kesepiannya. Sheilla. Gadis dengan lily putihnya di jendela seberang sana.