Topeng (persona); setiap manusia adalah aktor/aktris sandiwara

“Topeng banget sih lu!”
“Lu punya berapa topeng sih, gila. Sama setiap orang lu nunjukin muka beda-beda.”
“Muka dua banget sih lu. Sama gua act like an angel banget, sama orang lain lu devil, parah”
“Udah deh, sekarang lu apa adanya sama gue, lepasin semua topeng lu, cerita ke gue”

See? Pernah denger pernyataan-pernyataan semacam itu?

Yap, topeng. Setiap orang memiliki topengnya masing-masing. Ada yang hanya memiliki satu topeng saja, tapi ada yg memiliki dua bahkan puluhan topeng berbeda-beda.

Apa sih topeng? Apa semua orang memiliki topeng? Kenapa semua orang memiliki topeng? Apa sih gunanya topeng?

Yukk…kita bahas topik ini dengan teori Persona-nya Carl Gustav Jung (lagi-lagi Jung…hahaha…map yak, emang lagi suka banget dengan teori tokoh satu ini. Ntar deh pasti ada giliran kita bahas tokoh lainnya ya) 



Dalam teori Jung, topeng ini disebut persona. Persona adalah sisi kepribadian yang ditunjukkan kepada dunia. Istilah persona ini mengacu pada topeng yang digunakan oleh pemain teater pada zaman itu. Jung percaya bahwa setiap orang memiliki peranan tertentu yang dituntut oleh sosial. Misal, seorang istri pejabat tinggi di suatu daerah dituntut untuk menjadi wanita anggun, terhormat, penuh kasih sayang, ramah, dan berbagai imej ‘baik’ dan ‘terhormat’ lainnya. Seorang aktris terkenal dituntut untuk memiliki pribadi yang menarik. Dokter dituntut untuk berpenampilan rapi, bersikap professional, dan cerdas. Tidak menjamin apakah tuntutan sosial tersebut sesuai dengan kepribadian individu yang bersangkutan. Sehingga, untuk memenuhi tuntutan sosial tersebut, individu menciptakan persona yang berbeda dengan kepribadiannya yang sesungguhnya.



Lalu, dengan demikian, itu artinya kita tidak hanya menipu orang lain dengan persona kita, tapi juga menipu diri kita sendiri? Ya. Jung pun menyatakan bahwa meskipun persona meupakan sisi penting dalam kepribadian manusia, namun sangatlah tidak baik mencampuradukkan bagian diri yang ditampilkan dengan diri kita yang sebenarnya. Jika kita terlalu terikat dengan persona, kita akan terhabat dalam proses realisasi diri atau menjadi diri sendiri. Untuk menjadi pribadi yang sehat, Jung mengungkapkan bahwa manusia harus mampu menyeimbangkan antara harapan sosial dan diri kita apa adanya.



Lalu, bagaimana dengan seseorang yang sudah sangat terbiasa menggunakan persona sehingga sulit sekali membedakan mana yang topeng dan mana wajah yang sesungguhnya? Lihat dan amatilah. Ada beberapa unsur laten yang tak mungkin selalu ditutupi. Tatapan mata, cara berbicara, gesture tubuh, penampilan, aktifitas sehari-hari, dan pemikiran. Jadilah pengamat yang cerdas, maka kita dapat memahami orang-orang sekitar kita dengan lebih baik.

Referensi:
Feist, J., Feist, G. J. (2010). Teori kepribadian. Jakarta: Salemba Humanika.