Mimpimu Aku Pinjam

“Rantiiii…” aku berteriak memanggil namanya tepat setelah keluar dari mobil yang baru saja berhenti. Haha…salah-salah bisa saja aku terjatuh dan terluka, lalu mengalami kram telinga plus radang pendengaran akibat omelan Mama. Tapi itu sama sekali tidak kupedulikan jika sudah berhubungan dengan Ranti.

“Hahaha…hati-hati..Raf” Ranti mengingatkanku.

“Hehe…aku mau cerita banyaaak..banget sama kamu” kataku sambil membuat lingkaran besar dengan tanganku.

“Cerita apa?”

“Tadi di sekolah…”

“Raffi, ganti baju dulu, makan siang, nanti baru main sama Ranti, Ranti-nya juga mau makan siang kan? Ya kan, Ran?” Mama baru saja selesai memarkirkan mobil.

“Hehe..iya Ma” jawab Ranti pada Mamaku.

“Yahh..Mama” aku menundukan kepala kecewa.

“Udah sana makan dulu, nanti lanjut ceritanya” kata Ranti memegang tanganku sambil tersenyum manis. Aku ikut tersenyum demi melihat senyumnya itu.

“Okay, nanti aku ke sini lagi ya. Selamat makan, Ranti” aku berjalan menuju rumah sambil sesekali melihat ke belakang, melihat Ranti yang masuk ke rumahnya untuk makan siang juga.

***

“Wah, pasti Bobby malu sekali, haha…” komentar Ranti setelah mendengar ceritaku tentang seorang teman laki-lakiku yang memberikan kado ulang tahun pada teman perempuan yang disukainya namun dikembalikan. Aku selalu menceritakan tentang hariku pada Ranti, tentang sekolahku, tentang kelas pianoku, tentang kelas berkudaku, tentang kelas melukisku, tentang kelas karateku, tentang diriku. Mungkin Ranti lebih mengenalku daripada Mama. Dia sahabatku sejak kecil. Mamaku dan Bundanya teman sewaktu kuliah dan memutuskan menjadi tetangga setelah menikah. Dan pada akhirnya kami berdua menjadi sahabat.

Namanya Ranti Aksara Pandu. Dia sepuluh bulan lebih muda dariku. Usia kami sebelas tahun saat ini. Dia anak perempuan yang ceria dan manis. Kalau kata Mama, rambutnya bagus, lurus tebal dan hitam mengkilap seperti rambut model iklan shampoo. Kulitnya putih sekali, mungkin karna jarang terkena sinar matahari. Dia sangat cerdas. Dia lebih jago matematika daripadaku, padahal dia tidak sekolah. Mungkin karna dia suka membaca dan rajin belajar.

“Haha…iya, Bobby langsung pura-pura sakit dan izin ke UKS, kami semua menggodanya terus saat pulang sekolah tadi, dan sepertinya akan terus berlanjut sampai beberapa nanti. Haha…” kataku sambil mendorong kursi roda Ranti berkeliling kompleks perumahan kami.

Ya, Ranti menggunakan kursi roda. Kedua kakinya patah dan tidak dapat berfungsi lagi setelah menjadi korban tabrak lari beberapa tahun lalu. Ranti juga mengalami banyak kerusakan organ akibat kecelakaan itu. Itulah mengapa Ranti tidak bersekolah. Keadaan tubuhnya sangat lemah dan tidak stabil, sehingga harus selalu diawasi. Aku selalu menemani Ranti di waktu luangku. Karna aku tahu, pasti membosankan sekali hanya duduk di rumah saja seharian, padahal dulu Ranti sangat suka berjalan dan berlari-larian di taman sekolah.

Aku menghentikan kursi roda Ranti di dekat kursi yang disediakan di pinggir-pinggir trotoar. Kami sudah berjalan cukup jauh hingga dekat sekali dengan pintu gerbang perumahan. Papa dan Ayah -papanya Ranti, mengambil unit di perumahan ini karena katanya konsepnya yang hijau dan pro-pedestrian, entahlah, aku tidak begitu paham hal seperti itu. Hanya saja, aku dan Ranti sangat suka berjalan-jalan sore seperti ini di sekitar kompleks, karena pepohonan dan taman-taman kecil di pinggir jalannya benar-benar membuat nyaman. Tak lama setelah kami duduk dan menikmati udara sore, tampak dua orang anak seusia kami mendatangi pos satpam di pintu gerbang perumahan sambil bernyanyi dan meng-kercek-kercek alat musik sederhana buatan tangan dari beberapa tutup botol. Satpam itu tampak memberikan sejumlah uang dan menyuruh mereka pergi dengan kasar.

“Kasihan sekali mereka. Mereka seusia kita kan, Raf?” iba Ranti.

“Iya kayaknya” jawabku.

“Hufth, aku tidak sabar untuk segera dewasa dan menjadi guru. Aku ingin sekali bisa mengajar anak-anak seperti mereka, yang tidak punya uang untuk sekolah. Aku sudah pernah cerita tentang mimpiku kan, Raf?” Ranti memandangku dengan wajah manisnya yang kusuka.

“Iya, sudah. Tapi Ran, kenapa kamu bermimpi menjadi guru? Bukan menjadi dokter atau pramugari seperti anak-anak perempuan lainnya?” tanyaku.

“Karna, aku tidak bisa apa-apa. Tapi dengan buku, dengan belajar, aku merasa seperti bisa melakukan apa saja, seperti bisa menjadi siapa saja. Kau tau, kakiku seperti berfungsi kembali dan melangkah ke berbagai tempat di seluruh dunia ketika aku membaca?” Ranti menjawab sambil tersenyum memandang langit yang mulai bergradasi merah oranye melepas matahari yang beranjak ke peraduan. Aku memandangi wajah Ranti yang terlihat merona karna cahaya senja yang memesona.

“Kalo Raffi, apa mimpimu?” tanya Ranti tiba-tiba sambil memalingkan wajahnya ke arahku.

“Hah? Aku? Mimpiku? Emm…entahlah, aku belum memikirkannya. Bukankah kita masih kecil? Masih ada banyak waktu untuk memikirkannya” jawabku enggan.

“Hm…iya, kalo Raffi masih ada banyak waktu ya..” Ranti menundukan kepala. Aku melihat ekspresi wajahnya yang berubah menjadi murung. Apakah aku salah bicara? Apa yang sudah aku lakukan?

***

“Raffi…Raffi…bangun sayang” suara Mama membangunkanku dengan tergesa.

“Emm…??” jawabku malas dan mengantuk. Ada apa Mama membangunkanku malam-malam begini? Biasanya malah Mama selalu cerewet agar aku tidak terjaga hingga larut malam. Tapi mengapa Mama membangunkanku saat matahari saja masih lelap?

“Raffi…Ranti, Raffi…” kata Mama sambil menepuk-nepuk bahuku, masih tergesa.

“Em?” mataku sedikit membuka karna mendengar nama Ranti disebut.

“Ranti masuk rumah sakit, Raffi” kata-kata Mama selanjutnya benar-benar membangunkanku.

Empat puluh menit kemudian aku telah duduk di samping tempat tidur Ranti sambil menggenggam tangannya. Ranti tertidur dengan seperangkat alat elektronik menempel pada tubuhnya. Pukul sebelas malam tadi Ranti mengalami serangan jantung dan segera dilarikan ke rumah sakit. Syukurlah keadaannya segera dapat dikendalikan dan Ranti baik-baik saja. Aku sudah hampir kembali terlelap ketika kudengar suara mesin di samping tempat tidur Ranti melengking. Seperti cahaya kilat, dokter dan beberapa perawat datang dan mendorongku menjauh dari Ranti, mereka melakukan beberapa tindakan yang tidak kupahami. Mama, Papa, Bunda, Ayah, dan beberapa keluarga Ranti yang tadi menunggu di luar ruangan masuk dan berpegangan tangan cemas. Tak lama kemudian mesin tadi hanya mengeluarkan suara lengkingan panjang tanpa henti, dokter dan perawat menghentikan tindakan mereka, menunduk dan menggelengkan kepala. Dokter menyebutkan tanggal dan jam hari itu, kemudian menghampiri Bunda dan Ayah.

“Maafkan kami, Pak, Bu”

“Ranti, Yah…Ranti…” Bunda memeluk Ayah lemas dan jatuh pingsan, Ayah memeluk dan menahan tubuh Bunda yang roboh sambil menangis deras tanpa suara.

“Ranti…Ranti? Ranti…Nggaa…Ranti ngga mati. Ranti ngga mati. Mama…Papa…Ranti…Ranti…” aku berteriak histeris tak percaya bahwa kini Ranti sudah meninggal dunia. Seketika ruangan dipenuhi suara tangis dan adegan jatuh pingsan. Aku sendiri terduduk lemas di sudut ruangan, melihat Ranti yang terbaring diam dan memucat. Tubuhnya tergoncang-goncang akibat orang-orang yang mencoba memeluk bahkan membangunkannya. Ranti…Ranti…benar-benar pergi meninggalkan kami. Meninggalkanku.

***

“Wah, penjumlahan Welik sudah meningkat ya sekarang, hebat. Semangat ya…” kataku sambil mengembalikan buku latihan matematika Welik, salah satu muridku yang menyambutnya sambil tersenyum manis. Aku mengusap kepalanya sebelumnya akhirnya ia pamit pulang meninggalkan aku sendirian di bangunan berbentuk gazebo dari kayu ini. Aku memandangi Welik yang semakin menjauh, lalu melihat seisi ruangan yang telah menjadi kelasku sejak dua bulan terakhir. Kemudian pandanganku beralih ke arah pantai di kejauhan, ombaknya seperti memanggilku untuk mencumbu mesranya lagi kali ini. Aku berjalan meninggalkan kelas gazeboku yang memang berada di dekat pantai.

Aku berhenti tepat di garis pantai, membiarkan kakiku digelitik ombak yang merayu. Matahari senja sudah menyerakkan cahaya emasnya ke atmosfer, menciptakan sebentuk kanvas raksasa yang menggoda. Aku tersenyum.

Hai, Ranti. Apa kabar? Ini kampung halaman keenamku. Haha…Namanya Tana Tidung, salah satu daerah tertinggal di Kalimantan Utara. Seperti kampung-kampung sebelumnya, anak-anak di sini banyak yang tidak bersekolah, dan aku mengajari mereka. Mereka cerdas-cerdas, seperti kamu. Haha…jangan tertawa. Maafkan aku. Mimpimu aku pinjam. Kau tahu, aku tidak pernah menyangka akan menjadi guru untuk anak-anak tidak mampu di daerah terpencil seperti ini. Jika bukan karnamu. Tenang, mimpimu akan kukembalikan. Nanti…setelah aku cukup tua dan tidak mampu lagi berjalan jauh dan mengajari mereka. Aku akan mengembalikan mimpimu. Haha…tenang, aku akan membayar bunga pinjamanku. Dengan mimpi-mimpi indah murid-murid ini. Muridku, mereka juga muridmu. Karna jiwamu lah yang mengajari mereka. Terima kasih, Ranti. Beristirahatlah dengan tenang di sana. Aku merindukanmu.

Matahari sudah bersembunyi di balik tirai malamnya, menyisakan semburat gradasi warna putih, biru, ungu, kelabu, dan hitam di ufuk langit. Seperti akan menyampaikan pesanku, matahari pergi menghilang.


TAMAT.