Selfie = Gangguan Jiwa ???

Yapp, selfie. Kegiatan memotret diri sendiri ini sedang trend akhir-akhir ini. Ditambah dengan banyaknya media sosial untuk berbagi foto, semakin banyak orang-orang yang dapat dengan bebas membagi foto-foto yang diabadikannya. Misalnya Facebook, Twitter, Instagram, Path, dll.
Hayooo ngaku siapa yang mengikuti akun selebgram seperti Clarine Clay, Ria Ricis, Star Irawan, Sakayuv, dsb? Hayooo ngakuuu...
Atau yang mengikuti akun tokoh-tokoh nasional seperti Jokowi, Ridwan Kamil, Ganjar Prabowo, atau Ani Yudhoyono?
Atau mungkin selebriti mancanegara seperti Kim Kardashian, Taylor Swift, Girls' Generation, dll?
Hayooo ngaku...

Ada banyak sekali manfaat berbagi foto melalui media sosial, misalnya inspirasi hidup sehat, berbagi resep masakan, berbagi info tempat wisata menarik, atau bahkan berjualan. Namun, seperti hal lainnya di dunia ini diciptakan berpasang-pasangan, selfie selain memiliki manfaat juga memiliki dampak negatifnya.

Masih ingat peristiwa menghebohkan jatuhnya mahasiswa pecinta alam ke kawah Gunung Merapi pada 2014 lalu? Baca disini. Atau kejadian baru-baru ini yang menghebohkan netizen seantero negeri, akun Ina Si Nononk yang memperlihatkan foto siswa SD yang mengenakan selimut di atas tempat tidur bersama kekasihnya? Baca disini. Atau akun @hestisundari yang dihujat netizen karena dengan bangsa selfie merusak taman bunga? Baca disini.

Dan masih ada banyak sekali kasus-kasus menghebohkan akibat selfie. Tidak hanya di Indonesia, namun juga di berbagai negara. Misalnya pada sebuah kasus ekstreem, Danny Bowman, pemuda usia 19 tahun di Inggris yang terobsesi untuk melakukan selfie hingga 200 foto dalam sepuluh jam, bahkan Danny rela menurunkan berat badan hingga 13 kg, demi membuat dirinya lebih fotogenic di depan kamera, ketika tidak mendapat hasil foto sesuai yang dia inginkan, Danny ingin menghabisi hidupnya sendiri.

Bahkan, istilah selfie kini sudah masuk dalam kamus dan ditempatkan sebagai Oxford English Dictionary's 2013 Word of The Year.

Menurut Efnie (dalam Wahyuni, 2015) selfie merupakan bentuk usaha untuk medapatkan pengakuan. Bahkan psikiater pemerintah Thailand telah menghimbau generasi mudanya untuk tidak melakukan selfie, karena dengan bertambahnya pemuda ‘galau’ akan membuat jumlah calon pemimpin generasi baru berkurang. Hal ini juga akan menghambat kreativitas dan inovasi negara.

Setidaknya ada 4 bahaya psikologis dari hobi selfie yang perlu kita waspadai :
Gangguan penyakit mental
Gangguan dismorfik tubuh adalah jenis penyakit mental kronis dimana penderita tidak bisa berhenti memikirkan penampilannya dari cacat sedikit pun, meskipun cacat tersebut hanya minor atau hanya bayangannya saja.
Krisis kepercayaan diri
Rapuhnya kepercayaan diri seseorang bisa dilihat dari keinginannya untuk selalu diperhatikan oleh orang lain melalui foto selfie yang diposting ke sosial media. Tentu saja jika kebiasaan posting selfie ini diteruskan, akan menjadi penyakit yang lebih kronis dan berbahaya secara psikologis.
Kepribadian narsis
Gejala kepribadian narsistik meliputi sikap-sikap berikut ini: Percaya bahwa dirinya lebih baik dari yang lain, terus-menerus mengharapkan pujian dan kekaguman dari orang lain, gagal untuk mengenali emosi dan perasaan orang lain, tidak bisa menerima kritikan.
Kecanduan
Psikolog Dr David Veal dari London melaporkan bahwa selfie memang bisa menjadi kecanduan terutama pada orang-orang yang sudah memiliki penyakit psikologis tertentu.

Keith (dalam Rezkisari, 2015) menjelaskan bahwa seseorang yang melakukan selfie berkali-kali karena merasa kurang puas dengan foto-foto yang sudah diambil menunjukkan gejala krisis kepercayaan diri.

Lalu, pada kasus Erri yang jatuh ke kawah Gunung Merapi, apakah selfie maut yang dilakukan merupakan bentuk usaha untuk mendapat pengakuan sebagai pecinta alam? Atau petualang sejati? Atau pada kasus Ina Si Nononk, apakah Ina menampilkan foto mesra yang tidak sesuai umurnya tersebut untuk mendapatkan pengakuan bahwa ia telah dewasa? Atau pada kasus Hestisundari, ia tidak segan merusak bunga dan bertingkah pongah demi sebuah foto, apakah untuk membuktikan bahwa ia seorang penikmat alam? Atau pecinta fotografi? Atau sekadar anak muda yang hits?

Menurut psikologi ekstistensial, eksistensi merupakan kebutuhan. Hal ini terutama pada usia remaja hingga dewasa awal. Individu membutuhkan pengakuan bahwa ia telah dewasa. Bahwa ia telah menjadi manusia mandiri. Bahwa ia telah sukses. Bahwa ia ADA dan BERMAKNA.

Banyak hal yang membuat seseorang mengalami krisis kepercayaan diri dan membutuhkan pengakuan terus-menerus. Mungkin saja pola asuh yang tidak tepat, lingkungan yang tidak memberikan support, pengalaman traumatis, bullying, dan lainnya.

Sehingga selfie, kemudian mendapatkan likes, atau komentar pujian menjadi salah satu cara memenuhi kebutuhan yang terganggu tersebut. Tentu saja ada banyak sekali cara lain yang mungkin memiliki lebih banyak sisi positifnya, misalnya dengan belajar tekun dan memperoleh prestasi, atau dengan mengikuti suatu organisasi atau komunitas dan berperan aktif dalam forum diskusi, atau usaha-usaha lainnya.

Apapun tujuan kita melakukan selfie dan membagikannya di media sosial, pastikan terlebih dahulu bahwa foto tersebut tidak merugikan siapapun.

Mungkin selfie telah atau akan masuk ke dalam gejala atau bahkan gangguan psikologis. Namun seperti halnya pisau, ketajamannya bisa melukai, namun kebermanfaatannya juga tidak dapat dipungkiri. Tinggal bagaimana bijaknya kita dalam membagikan suatu foto.

Seperti kata Ed Sheeran dalam lagunya Photograph, "We keep this love in this photograph. We made these memories for ourselves. Where our eyes are never closing. Our hearts were never broken. Times forever frozen still. So you can keep me. Inside the pocket of your ripped jeans. Till our eyes meet. You won't ever be alone".

Yuk lebih bijak dalam ber-selfie ^_^

Referensi:
Widiyani, R. (18 Desember 2013). Apa kata psikolog soal "foto narsis" di jejaring sosial. Kompas.com. Diunduh pada 10 April 2016 dari http://health.kompas.com/read/2013/12/18/1151301/Apa.Kata.Psikolog.soal.Foto.Narsis.di.Jejaring.Sosial

Rezkisari, I. (15 Juni 2016). Psikolog ungkap bahaya terlalu banyak 'selfie'. Rebuplika.co.id. Diunduh pada 10 April 2016 dari http://www.republika.co.id/berita/gaya-hidup/trend/15/06/15/npy0e5-psikolog-ungkap-bahaya-terlalu-banyak-selfie

Hobi selfi? Waspadai bahaya psikologi ini!. (n.d). Doktersehat.com. Diunduh pada 10 April 2016 dari http://doktersehat.com/hobi-selfie-waspadai-bahaya-psikologi-ini/#ixzz45P2AXwn2
Wahyuni, T. (17 April 2015). Kata Psikolog Soal Orang yang Sering Unggah Foto Selfie. CNN Indonesia. Diunduh pada 10 April 2016 dari http://www.cnnindonesia.com/gaya-hidup/20150417111749-255-47364/kata-psikolog-soal-orang-yang-sering-unggah-foto-selfie/