Grey Shadow

Vivi menghentikan langkahnya. Kepalanya tertunduk dalam. Vivi menggertakkan kuku tangannya berkali-kali hingga terasa perih. Sungai keringat mengalir tak terbendung di tengkuknya. Ada pacuan kuda yang berlangsung di dadanya. Sesak.
Hingga beberapa saat, Vivi menghela nafas berat. Seluruh tubuhnya bergetar hebat. Ia memaksa berdiri dengan kaki yang tak bertenaga.

Sudah. Sudah lewat. Tenanglah. Kumohon.

Trotoar di salah sudut Kota Jakarta yang paling sibuk ini begitu ramai. Orang-orang berjalan dengan ritme yang berbeda-beda. Ada yang cepat seperti sedang terburu-buru. Ada yang pelan seperti sedang tidak dikejar apapun. Di antara semua itu, Vivi berdiri tegak di tengah kerumunan. Mematung.
Lama. Hingga akhirnya Vivi merasakan kakinya kembali memiliki tulang dan otot yang sebelumnya sempat dirasanya luruh ditelan bumi tempatnya berpijak. Vivi mulai berjalan kembali. Perlahan. Di sudut trotoar yang mulai lengang.

***

“Selamat pagi”, sapa Lena pada Vivi yang memasuki ruang kerja. “Vi?” Lena mengulang sapaannya ketika melihat Vivi melenggang tanpa nyawa. “Lagi?” pertanyaan Lena hanya dijawab anggukan lemah oleh Vivi.
Vivi meletakkan tas dan menjatuhkan tubuhnya begitu saja ke kursi kerjanya. “Huuufth”, desahnya panjang dan berat. Ia memandangi langit-langit ruang kerja yang mulai kehilangan warna cat aslinya.

Sudah berapa lama ini? Tiga? Ah, lima tahun.

Pikiran Vivi melayang kembali ke hari itu. Hari mengerikan yang membuatnya menderita seperti ini. Hari itu ia pulang sangat larut karena memaksakan lembur. Seperti hari lainnya, Vivi memarkirkan mobil di lahan parkir bersama, karena lingkungan rumah sewanya yang berada di kampung padat penduduk tidak memiliki lahan parkir pribadi. Jaraknya tidak jauh. Vivi biasa berjalan sekitar sepuluh menit dari parkiran menuju rumah sewanya. Tapi malam itu nasib tidak berpihak padanya. Tepat setelah beberapa langkah dari mobilnya, Vivi dibekap hingga pingsan. Sepatunya sampai terlepas hasil dari usahanya melepaskan diri ketika itu.
Kemudian Vivi terbangun di sebuah ruang asing. Tangan, kaki, dan mulutnya diikat. Ia meronta sekuat tenaga mencoba melepaskan diri hingga dirasanya pipinya memanas dan pusing yang teramat sangat. Vivi ditampar dengan sangat keras hingga sudut-sudut bibirnya berdarah. Tidak hanya sekali. Berkali-kali. Ketika Vivi hampir kehilangan kesadaran, dirasanya kulit kepalanya nyaris lepas, rambutnya ditarik hingga kepalanya menengadah. Saat itulah dilihatnya laki-laki dengan kaus abu-abu yang wajahnya tak bisa dilupakan hingga saat ini.
Vivi terbangun keesokan harinya dalam keadaan yang mengenaskan. Ia tahu pasti apa yang terjadi. Ia sadar benar apa yang menimpa dirinya. Ketika dilihatnya sekitar dan tak menemukan laki-laki itu. Vivi membenturkan kepalanya ke lantai. Berkali-kali.

Aku mau mati. Aku harus mati.

Ketika ia mulai merasa pusing. Lagi-lagi kulit kepalanya terasa panas. Rambutnya ditarik dengan keras. Dan tragedi semalam terulang kembali. Dan semakin menakutkan.
Mimpi buruk itu berlangsung selama empat hari sampai Vivi diselamatkan oleh pihak berwenang yang datang dengan ayah dan ibunya. Mereka terduduk lemas melihat kondisi Vivi yang matanya terbuka namun seperti tak melihat apa-apa. Sejak hari itu, Vivi telah mati.

***

“Kamu masih terapi kan?” tanya Lena yang hanya disahut lemah oleh Vivi. “Obat? Masih minum?” tanya Lena lagi. “Ho” Vivi menunjukkan botol obatnya.
“Tapi ini gejala pertama dalam enam bulan. Sudah bener-bener jauh berkurang kalo dibandingin dengan awal-awal” Lena meninggalkan meja kerjanya dan mendekati Vivi. “Apa kata dr. Mila? Kamu udah bisa berhenti?” Vivi menggelengkan kepala menjawab pertanyaan Lena.
“Masih belum” Vivi mulai menyalakan komputernya. “Why? Kamu udah terapi lima tahun lho. Masih belum sembuh juga?” Vivi hanya mengangkat bahunya enggan menjawab. Lena memandangi Vivi beberapa saat sebelum kembali ke meja kerjanya.

***

“Aku sama Vivi mau ke CoffeKop. Ada yang mau?” Lena menawarkan jasa titip kopi pada teman-teman satu tim. Sudah masuk jam makan siang, walau kantor menyediakan konsumsi untuk karyawan yang sebentar lagi akan diantar. Namun kopi tetap jadi pilihan until mendulang kembali energi yang terkuras dari pagi.
Vivi dan Lena berjalan bergandengan menuju cafĂ© kopi langganan mereka yang berada tepat di seberang gedung kantor. “Kamu udah tau? Katanya tim kita bakal punya supervisor baru. Cuma sementara, karna nantinya dia bakal jadi manager, gantiin Pak Dani yang mau pensiun akhir tahun nanti. Katanya dia anaknya siapa gitu, atasan lah pokoknya” cerita Lena penuh semangat. “Ooo…” Vivi hanya menanggapi seperlunya saja. “Terus…katanya ganteng banget tau. Lama sekolah di luar. Hihi…kan enak tiap hari bisa cuci mata” Lena masih saja bersemangat. “ Hm…” Vivi sama sekali tidak tertarik.
BUKKKK…
Suara benturan keras dan kejadian yang sangat cepat membuat Vivi nyaris jatuh terjerembab sebelum menyadari, “Copeeet!!!” teriak Lena setelah berhasil memegangi Vivi dan menahannya agar tak jatuh. Sama seperti kejadian itu dimulai dengan sangat cepat, akhirnya pun terjadi dengan cepat pula. Beberapa orang mengejar si copet dan berhasil menangkapnya. Tas Vivi pun sukses diselamatkan.
“Ini tasnya, Mba” Vivi memandangi laki-laki yang mengembalikan tasnya itu. Lalu terpaku pada turtle neck yang dikenakannya. Hanya sesaat. Dan kemudian Vivi benar-benar jatuh kali ini. Pingsan.

Abu-abu.

Source: Google


Bersambung…