Maturity, self-love, nrimo; just a random thought
Cung yang udah kenal aku lebih dari 5 tahun!
What do you think? Did you realize the difference of myself? Then and now? What's changed? What's the good that become better? What's the bad that become more unseen? Did I grow up well? What do you think?
What do you think? Did you realize the difference of myself? Then and now? What's changed? What's the good that become better? What's the bad that become more unseen? Did I grow up well? What do you think?
Aku ngga tau pasti bagaimana orang mengenalku selama ini. Aku hanya mendengar cerita dari orang-orang.
"Dara orangnya dingin."
"Dara orangnya sok pintar."
"Dara orangnya acuh."
"Dara orangnya bossy."
"Dara orangnya sombong."
"Dara orangnya emosional."
"Dara orangnya berani."
"Dara orangnya rajin."
"Dara orang gitulah...ginilah..." dan seterusnya, dan seterusnya.
"Dara orangnya dingin."
"Dara orangnya sok pintar."
"Dara orangnya acuh."
"Dara orangnya bossy."
"Dara orangnya sombong."
"Dara orangnya emosional."
"Dara orangnya berani."
"Dara orangnya rajin."
"Dara orang gitulah...ginilah..." dan seterusnya, dan seterusnya.
Well, ngga semuanya salah. Pun ngga semua benar.
Dulu...aku sok acuh dengan what's people talk 'bout me. Padahal aslinya aku mikir keras, "Masa sih aku kek gitu?" atau "Apa iya aku kek gitu?"
Tapi kemudian jadi beneran acuh.
Dulu...aku sok acuh dengan what's people talk 'bout me. Padahal aslinya aku mikir keras, "Masa sih aku kek gitu?" atau "Apa iya aku kek gitu?"
Tapi kemudian jadi beneran acuh.
Lalu sampe pada titik, ketika kuliah ini. Aku lihat beberapa teman yang masih akrab dengan teman SMA bahkan teman SMPnya. Ada pula yang mengklaim sebagian dari mereka sebagai 'peers'. Mereka menyebut satu sama lain sebagai 'sahabat'. Sebuah istilah yang menurutku sangat berat. Ngga main-main.
Sahabat adalah orang yang dengannya kau percayakan tawa, tangis, canda, cela, rahasia, bahkan nyawa.
Lalu aku melihat diriku. Melihat sekelilingku. Dan mulai menghitung. Banyak mungkin yang bisa kusebut teman. Tapi hanya segelintir yang dapat dengan yakin kusebut sahabat.
Waktu itu aku berpikir, "Ada yang salahkah dengan aku? Diriku?"
Sampai akhirnya aku paham, tak ada yang salah. Bukan aku yang tidak menyenangkan. Bukan mereka yang tidak menantang. Bukan aku yang tak pandai berkawan. Bukan mereka yang tak lihai berteman.
Di titik inilah aku paham, pada akhirnya hanya orang yang dapat melihat 'aku' lah yang akan tetap tinggal. Sama seperti aku yang hanya setelah dapat melihat 'mereka' barulah yakin memutuskan untuk menetap.
Sahabat adalah orang yang dengannya kau percayakan tawa, tangis, canda, cela, rahasia, bahkan nyawa.
Lalu aku melihat diriku. Melihat sekelilingku. Dan mulai menghitung. Banyak mungkin yang bisa kusebut teman. Tapi hanya segelintir yang dapat dengan yakin kusebut sahabat.
Waktu itu aku berpikir, "Ada yang salahkah dengan aku? Diriku?"
Sampai akhirnya aku paham, tak ada yang salah. Bukan aku yang tidak menyenangkan. Bukan mereka yang tidak menantang. Bukan aku yang tak pandai berkawan. Bukan mereka yang tak lihai berteman.
Di titik inilah aku paham, pada akhirnya hanya orang yang dapat melihat 'aku' lah yang akan tetap tinggal. Sama seperti aku yang hanya setelah dapat melihat 'mereka' barulah yakin memutuskan untuk menetap.
Lalu...banyak hal yang kulalui baru-baru ini. Rasanya cukup mengobrak-abrik emosi. Saat telah selesai meredakan kecamuk badai waktu itu, aku tersadar dan kemudian tertawa, tersenyum, lalu bersyukur. Betapa dewasanya aku saat ini? Jika dibandingkan dengan diriku 5? Bukan, 7? Ah, 10 tahun lalu? 😂
Jika dihadapkan dengan masalah yang sama, aku yang dulu akan bereaksi secara emosional, cenderung berlebihan bahkan.
Melihat diriku saat ini, ketika dihadapkan pada masalah, menangisi secukupnya, meratapi sekadarnya, berkata pada diri sendiri meyakinkan bahwa semua baik-baik saja, lalu berpikir bagaimana menyelesaikannya.
Betapaaa bangganya aku pada diriku.
Jika dihadapkan dengan masalah yang sama, aku yang dulu akan bereaksi secara emosional, cenderung berlebihan bahkan.
Melihat diriku saat ini, ketika dihadapkan pada masalah, menangisi secukupnya, meratapi sekadarnya, berkata pada diri sendiri meyakinkan bahwa semua baik-baik saja, lalu berpikir bagaimana menyelesaikannya.
Betapaaa bangganya aku pada diriku.
Dan, saat ini, sambil menulis ini, aku masih terus memandang pada diriku yang dulu, aku yang lama. Bukan..bukan mengeluhkan dan/atau menyesali apa yang sudah lalu. Hanya memuji diri sendiri betapa telah banyak yang kulewati.
Betapa waktu adalah suatu kemewahan yang kunikmati dengan sangat bijaksana. Melihat diriku saat ini dengan penuh cinta. Aku bahagia.
Terima kasih untuk usahamu, Ra.
Terima kasih untuk semua hal yang telah kau lalui.
Kau melakukan yang terbaik yang kau bisa.
행복하자 ...
Betapa waktu adalah suatu kemewahan yang kunikmati dengan sangat bijaksana. Melihat diriku saat ini dengan penuh cinta. Aku bahagia.
Terima kasih untuk usahamu, Ra.
Terima kasih untuk semua hal yang telah kau lalui.
Kau melakukan yang terbaik yang kau bisa.
행복하자 ...