남편을위한 연애 편지 ❤

Aku nulis ini tuh kayaknya udah lama banget, rencananya mau di post pas anniversary pernikahan yang pertama, tapi urung.
Lalu, karena aku merasa bahagia dengan ulang tahunku beberapa hari lalu. Aku memutuskan untuk memindahkan post ini dari draft 😅
Ini semacam napak tilas kisah cinta, sekaligus surat cintaku untuk dunia dan dia 😘
Beberapa tidak kuedit, jadi mungkin tidak relevan secara timeline waktu. Namanya juga draft lama yang di publish 😆

Beberapa teman, tetangga di Bungo, bertanya, "Kenapa Ra nikah kek maksa gitu, nyempil di tengah UTS, tanpa resepsi,  dsb.?"

Sebenernya ini udah jadi pembicaraan yang panjaaaaaaaaaaaang........banget antara aku dan Edwan. Dan juga keluarga kedua pihak.

Kita berdua udah temenan lama, dari semester satu waktu kuliah sarjana dulu. Kita udah sering berbagi cerita, mulai dari yang receh tentang siapa suka siapa, dosen yang dikagumi, temen yang lagi disebelin, sampe yang serius tentang pandangan politik, passion, dan rencana masa depan.

Aku sendiri udah lama cerita ke Edwan tentang keinginan menikah muda, keinginan lanjut studi, dan cita-citaku yang lainnya. Begitu juga Edwan, dia bercerita tentang prinsip-prinsipnya, goals-goals dia.

Kita punya kesamaam dalam beberapa hal, dan juga berbeda bagai Mars dan Venus dalam banyak hal lainnya. Jadi, ketika kita berdua memutuskan umtuk engage di hubungan yang lebih dari sekadar teman, kita berdua sadar banget bahwa ini bukan hubungan hahahihi belaka. Kita berdua memutuskan menjadi lebih dari sekadar teman nongkrong karena memang merasa menemukan "teman" untuk diajak menghadapi roller coaster kehidupan bersama.
.
Jadiii... Ketika kita berdua sama-sama lulus sarjana, kemudian terpisah dan menjalani hubungan jarak jauh, Edwan sempat bekerja sebagai kontraktor di Riau dan aku terapis untuk anak tuna rungu di Jakarta, kita aware banget tantangan yang akan dihadapi. Sampai akhirnya tiba pada satu titik, saat itu Edwan di terima bekerja di tempat yang lebih baik, dan aku yang masih mengejar mimpi melanjutkan studi di luar negeri. Di sinilah kedewasaan dan komitmen hubungan kita berdua menghadapi turning point.

Tadinya kita berdua mau sama-sama lanjut study abroad. Tapi ya rezeki mengatakan lain. Edwan dipercaya dengan rezeki untuk bekerja. Sementara itu, aku diterima di sebuah universitas di Belanda. Di tahap ini, aku; dengan berbagai pertimbangan akhirnya bilang ke Edwan bahwa hubungan kita akan berlanjut, tapi ke depannya semakin sulit pastinya, karena terpisah jarak yang sangat jauh. Kalau memang jodoh dan akhirnya kita nikah, alhamdulillah, tapi jangan pula menolak ketika diperjalanan dipertemukan jodoh karena pasti ada maksud di setiap rencana Allah. Intinya aku bilang ke Edwan untuk lebih let it flow. Di sini Edwan mengartikannya aku minta putus. Dan dia menolak itu. Dengan terburu-buru dia bilang ke orang tuanya untuk segera melamar aku.

Orang tua Edwan jelas kaget, anak bujangnya tiba-tiba kebelet kawin. Mereka tentu menginginkan yang terbaik untuk Edwan. Mereka sudah mencoba menasehati Edwan untuk fokus terlebih dahulu dengan pekerjaannya yang baru. Bersamaan dengan itu, orang tua Edwan juga menelpon menanyakan apakah aku yang memang meminta menikah? Jelas aku bilang tidak, karena aku sendiri pun masih sangat-sangat ambisius untuk melanjutkan studiku ke Belanda.

Setelah diberi penjelasan, orang tua Edwan mengerti ada kesalahpahaman. Meminta aku untuk menunggu dan mendukung pekerjaan Edwan yang baru itu. Bahwa mereka menjanjikan akan secepatnya datang ke Bungo. Aku pun mengiyakan. Benar aja, mereka datang di awal Mei 2018, seminggu sebelum Ramadhan, melamarku.

Edwan berat sekali dengan fakta aku akan melanjutkan studi ke luar negeri ini, doi bahkan sampe bilang mau out dari kerjaan baru itu dan cari kesempatan studi bareng aku. Aku menolak ide gila ini. Karena doi diterima setelah menyisihkan sekian banyak orang, itu bukan sekadar kebetulan atau keberuntungan. Itu sudah ada dalam ketetapan-Nya, tanggung jawabnya untuk menjalani amanah itu dengan baik.

Laluuu, di tengah situasi desperate itu, Edwan pun ngebujuk aku untuk melepas LoA-ku di Belanda dan lanjut studi di Indonesia aja. Aku sempat emosional di sini. Karena aku tau Edwan bukan tipe yang akan menghancurkan mimpi orang lain. Jadi ketika dia approach begitu aku sempet ngga percaya dan kecewa. Cukuuup....lama, sampe akhirnya aku diyakinkan oleh mama, papa dan dosen pembimbing yang sudah benar-benar kuanggap sebagai orang tua kedua, bahwa sekolah penting, tapi jodoh yang baik juga penting.

Akhirnya dengan sangat berat hati aku melepas LoA itu dan mencoba daftar Simak UI.
Curhat dikit, biaya pendaftaran Simak UI untuk Magister Psikologi Profesi itu Rp 1.000.000. Aku sampe mikir, "Ini kalo ngga lulus, ironis banget. Keterima di Belanda, ditolak di negeri sendiri, bayar pula".  Cerita tentang perjalanan hingga diterima di UI ini sudah kuceritakan pula dalam beberapa part, bisa cek Part 1, Part 2, dan Part 3. Alhamdulillah-nya aku diterima.

Dan ketika tahu kalender akademik dan perkuliahan dimulai awal September, aku udah predict kalo akhir Oktober itu bakal minggu-minggu UTS.
Kenapa nikahnya harus Oktober?
Ini juga panjaaang banget. Wkwk...

SK pengangkatan Edwan baru keluar 19 Oktober 2018, setelah itu doi dapat jatah cuti kurang lebih seminggu. Sebagai karyawan baru, Edwan ngga yakin setelah Oktober kapan bisa dapat cuti lagi. Jadilah doi ngotot musti nikah Oktober.

Di awal aku pun sudah ngomong. Konsekuensinya kalo nikah dan aku masih S2, ya bakal long distance married Balikpapan-Depok. Selain itu juga musti menunda momongan. Menimbang.. Menimbang.. Akhirnya kita accept the consequences.

Naaah.. Sebelum omongan tentang lamaran ini, aku dan Edwan sudah ngobrol lebih dulu. Bahwa kita realize uang kita ngga ada untuk nikah dengan resepsi. Maka sepakatlah kita untuk tidak resepsi. Dan ketika dibicarakan ke kedua orang tua, mereka juga tidak keberatan.

Aku sendiri berkali-kali bilang ke mama, "Ma, jangan ribet-ribet ya, ara jauuuh, yang ngurus apa-apanya di sini Mama sendiri, sebisanya Mama aja, jangan dipaksain."

Dan seperti yang dibilang orang-orang, sesederhana apapun, ngga mungkin menghiraukan adat sama sekali. Jadilah acaranya ngga sederhana..sederhana amat. Maksudku.... Ngga sesederhana dalam bayanganku.

Jadiiii... Ketika sampe rumah H-1, aku shock di rumah ada tenda. Lho kok? Kata Papa, bukan Papa yang pesen tenda, dipesenin temennya. Aku sampe memastikan berkali-kali ke Mama. Beneran? Uangnya cukupkan? Ngga ada yang ngga dikasih tau ke aku kan?

Lalu semakin amaze dan bersyukur dengan berbagai kebaikan hati teman-teman, kerabat, dan tetangga yang masyaallah. Seperti Allah memudahkan segala-galanya.

Biasanya calon pengantin H-1 itu luluran, perawatan, dll. Aku mah boro-boro... Masih ngangkatin karpet, beresin garasi dan bantu di dapur 😂
Sampe diketawain ibu-ibu tetangga, ini calon pengantin beneran ngga sih?
Mau gimana? Ngga tega liat Mama kerja berat-berat. Dan emang sengaja ngga woro-woro ke tetangga, karena emang acaranya sederhana, ngapain ngerepotin, gitu kan... Tapi ternyata banyak banget yang bantuin, banyak banget yang datang. Padahal undangan cuma 'mulut ke mulut' aja

Hari H. Acaranya ba'da magrib. Menjelang dzuhur Edwan dan keluarganya sampai di Bungo. Setelah makan siang di rumah, mereka diantar ke hotel di dekat rumahku.

Sampailah pada acaranya, ba'da magrib.

Diawali dengan acara adat, namanya nganta tando. Ini semacam simbolis pihak Edwan mengantarkan tanda pengikat pada pihakku. Dalam acara ini hanya dihadiri oleh tetua dari pihakku dan pihak Edwan, disaksikan oleh tuo tengganai. Baru kemudian setelah isya acara akad nikahnya.

Aku menunggu di kamar tanpa ada perasaan apapun. Masih asyik ngobrol dengan kakak sepupu dan adikku. Kemudian tiba-tiba aku disuruh keluar kamar dan ke meja akad. Aku sempat kaget, karena aku ngga denger ijab kabul, aku pikir aku bakal di duduk sandingkan dengan Edwan saat ijab kabul, dan aku ngga suka ide itu. Aku sudah bilang ngga mau di duduk sandingkan. Tapi ternyata ijab kabul sudah selesai. Penghulu yang meminta tidak perlu pakai microphone supaya lebih khidmat.

Kemudian, setelah membaca doa. Penghulu meminta Edwan membaca janji pernikahan yang ada di buku nikah. Di sinilah tangisku pecah. Wkwkwk... Aku menangis sejadi-jadinya. Tahu mengapa?

Karena aku merasa seperti peran Papa sebagai waliku, sebagai pahlawanku, sebagai pelindungku, sebagai pemberi nafkahku, tiba-tiba 'direbut' oleh Edwan. Wkwk... Sesak rasanya memikirkan bahwa Mama dan Papa yang membesarkan dan mendidikku sedemikian rupa kini harus melepaskanku menjadi istri orang. Sedih rasanya bahwa kini pintu surgaku beralih dari ridho mereka menjadi ridho Edwan. Entahlah, rasanya seperti benang ikatan antara aku dan mereka tiba-tiba menjadi teramat tipis karena kini sebagian besar serat-serat benang ikatanku menebal pada Edwan.

Papa berulang kali memberikan isyarat agar aku berhenti menangis. Mama yang tampak jelas menahan tangis sekuat tenaga juga melakukan hal yang sama. Haha... apalah daya, tangisku justru semakin jadinya.

Setelah selesai mengucapkan Janji Pernikahan itu, Penghulu yang juga adalah kerabat dekatku, meminta Edwan menyerahkan mahar padaku. 20 Dinar dan 10 Dirham. Haha... kini terasa lucu mengingat diskusi penentuan mahar waktu itu. Dan bagaimana usahaku untuk money exchange ditengah jadwal kuliah yang padat. Mahar buatku, tapi aku yang siapin. Wkwk... Pada saat ini tangisku mereda.

Setelahnya, kami diarahkan untuk bersalaman meminta restu dan doa para tetua. Mulailah aku bersalaman pada Mama dan Papa, dasar emang cengeng, tangisku pecah lagi. Apalagi setelah bisikan petuah Mama. Bisa apa aku? Lanjut menyalami Mimi dan Bapak. Lalu ke Nyai dan Nenek Jambi. Ke Bibi dan ayuk-ayukku. Serta beberapa kerabat dekat lainnya.

Aku benar-benar sulit menjelaskan perasaanku saat itu. Aku termasuk cucu tertua dari kedua pihak, baik Mama dan Papa. Jadi aku sadar posisiku sebagai teladan dan contoh. Dan sudah kulakukan tugas itu dengan sebaik-baiknya. Jelas aku membawa banyak sekali doa dan harap keluargaku.

Dan, kini...aku menjadi istri. Ada tugas baru yang harus kuemban. Maka aneh sekali rasanya kini aku seperti sedikit lebih jauh dari mereka yang selalu merawatku, yang selalu menyayangiku, yang selalu memanjakanku, yang selalu membanggakanku. Entahlah...

Setelah selesai prosesi akad, maka dilanjutkan pada acara makan bersama. Aku hanya duduk 'dipajang' sambil mengobrol dengan Edwan dan adik perempuanku. Semakin malam, beberapa tamu pamit undur diri. Setelah hanya tersisa keluarga dan kerabat, aku mengganti baju dan segera pamit tidur. Karena sesungguhnya aku merasa cemas, karena belum belajar untuk ujian Mid Semester pada Senin lusanya.

Minggu pagi, kami segera berbenah. Mimi Bapak dan keluarga Edwan lainnya yang hadir pamit untuk kembali ke Jakarta, Purwokerto, dan Malang. Termasuk aku dan Edwan pun pamit untuk kembali ke Depok.

Pukul 10.00 WIB pagi sehari setelah menikah, aku sudah duduk di kursi pesawat dengan setumpuk buku neuroscience yang Subhanallah... Bahkan aku ngga sempat bertemu teman-teman SMP dan SMA yang datang menyusul Minggu siang itu, karena kebetulan, malam hari saat acara berlangsung, hujan menyelimuti Bungo yang sudah lama kering.

Sebuah cerita pernikahan yang ajaib menurutku. Walau ada banyak pernikahan-pernikahan ajaib lainnya di luar sana. Tapi bagiku, ini adalah sesuatu yang akan sangat menarik untuk kuceritakan pada anak cucuku kelak.

Lalu, kini, setelah satu tahun lebih, aku masih amaze bahwa kini aku sudah menikah, bahwa aku kini seorang istri. Tapi yang selalu ku syukuri sejak awal kumantapkan hati ini adalah, aku bersyukur, Edwan lah suamiku. Karena tak dapat terbayangkan olehku jika bukan dia orangnya. Semakin hari pun aku semakin dihujani kasih sayang dan cinta yang berlimpah. Rasanya seolah tangis dan kekhawatiranku pada saat pernikahan waktu itu terhapus sudah. Ma, Pa, dia memenuhi tanggung jawabnya sebagai suami dengan baik. Dia berusaha menjadi imam untukku. Dia memenuhi semua kebutuhanku seperti Mama dan Papa memenuhinya dulu. Dia mengajariku banyak hal. Dia mendukung mimpi-mimpiku. Dia menjagaku. Dan...aku mencintainya.

사랑한다 ... ❤❤❤