Jadilah Hebat
Zaza keluar dari mini market dengan senyum sumringah. Ia melihat kantong plastik yang berisi makanan ringan kesukaannya. Yeay…amunisi terisi penuh. Zaza bicara pada dirinya sendiri. Baru saja berjalan beberapa langkah, Zaza melihat seseorang di sudut mini market. Di dekat tumpukan galon air mineral dan kotak-kotak angkut, seorang laki-laki berseragam putih abu-abu duduk di kursi yang memang disediakan jaringan mini market franchise ini. Ya, dia menggunakan seragam, dan itu menarik perhatian Zaza.
“Kamu ngga sekolah?” Tegur Zaza pada laki-laki berseragam putih abu-abu itu.
Laki-laki itu mendongakkan kepala untuk melihat Zaza, kemudian kembali mengerjakan sesuatu, tidak menjawab. Zaza melihat laki-laki itu sedang menggambar di sebuah buku sketsa.
“Kamu bolos ya?” Mendengar itu, laki-laki itu mendengus keras, menghentikan pekerjaannya dan menatap Zaza.
“Apa urusanmu sih? Sana pergi!” Zaza tidak beranjak. Ia justru duduk di samping laki-laki itu.
“Ilham Bagus H.? Aku panggil Ilham ya?” Zaza melihat ke tanda nama di seragam laki-laki yang bernama Ilham itu.
Ilham menoleh lagi, kali ini dengan ekspresi kesal yang kentara di wajahnya.
“Aku Zaza. Aku juga ngga sekolah. Aku homeschooling”
“Ngga nanya!” Ilham masih saja ketus.
“Aku ngga bisa matematika. Bentuk angka seperti apa aja aku ngga tahu, abisnya mereka selalu kayak joget-joget gitu di mataku.” Zaza bercerita sambil membuka salah satu makanan ringan yang baru saja dibelinya. “Kata psikolog, aku punya diskalkulia.” Zaza bicara sambil mengunyah bola-bola coklat kesukaannya. “Terus karena itu aku dipanggil bodoh di sekolah, jadi Mama mengeluarkan aku dari sekolah dan nyuruh aku homeschooling aja.”
Cukup lama keheningan menghinggapi mereka berdua. Ilham sudah menghentikan kegiatannya sejak Zaza mulai bercerita tentang dirinya. Kini ia tampak tenggelam dalam pikirannya. Sementara Zaza menikmati cemilannya. “Aku benci sekolah.” Tiba-tiba Ilham bersuara. Zaza tidak memberikan respon apapun, ia masih teruh memasukan bola-bola coklat ke mulutnya. Akan tetapi, pandangan Zaza sepenuhnya mengarah ke Ilham. Ia siap mendengarkan.
“Aku…” Ilham mengambil jeda cukup lama sebelum akhirnya melanjutkan kalimatnya. “Aku…juga ngga tahu bentuk angka seperti apa.”
“Wah! Kita sama dong! Wow, takdir mempertemukan kita!”
“Senang banget?” Kali ini Ilham terasa sangat ramah. Zaza bahkan melihat sudut bibir Ilham yang terangkat, seolah akan membentuk senyum sebentar lagi. Zaza menantikan, Mari kita lihat apakah senyummu menambah poin ketampananmu? Zaza berkata dalam hati. Akan tetapi sudut bibir Ilham justru menukik tajam ke bawah, kemurungan yang sangat jelas melandanya. “Aku juga dianggap bodoh di sekolah hanya karena matematikaku buruk. Padahal di pelajaran lain aku baik-baik saja.”
“Kamu bisa baca?” Tanya Zaza.
“Bisalah. Kamu pikir aku sebodoh apa sih?”
“Ih…jangan baper dong. Soalnya kata psikologku, kadang diskalkulia juga disertai dengan disleksia. Itu lho, gangguan ngga bisa baca, ngga bisa lihat bentuk huruf kayak di film-film.”
“Oh, engga. Selain hal yang berurusan dengan angka, aku baik-baik aja.”
“Ya kalau gitu, minta homeschooling aja ke orang tua kamu, kayak aku”
“Haha…” Ilham tertawa ketir. “Ngga mungkin!”
“Kenapa?” Zaza bertanya sambil membuka bungkus makanan ringan keduanya, kali ini stick coklat.
“Kamu pikir aku bertahan di sekolah selama ini karena apa? Aku berkali-kali dikeluarkan, tapi Ayahku selalu berhasil memasukkan aku kembali ke sekolah lain. Dia menuntut aku untuk dapat rangking tinggi, tapi aku ngga pernah lebih tinggi dari rangking 10 karena nilai matematika dan sainsku buruk banget. Dia mau aku meneruskan tradisi keluarganya yang selalu jadi dokter.” Ilham menundukkan kepalanya sambil memainkan pensil yang sedari tadi dipegangnya.
“Ayahmu dokter?” Ilham mengangguk menjawab pertanyaan Zaza. “Aneh.”
“Apa yang aneh?” Ilham mengangkat kepalanya dan melihat ke arah Zaza.
“Dokter sama psikolog kan ilmunya ngga jauh-jauh banget ya. Kok Ayahmu ngga sadar sih kalau kamu diskalkulia?” Ilham mengangkat bahunya.
***
Setelah pertemuan ajaib mereka, Zaza dan Ilham semakin sering bertemu dan berbicara satu sama lain. Zaza bahkan mengajak Ilham untuk datang ke rumahnya saja kalau bolos sekolah, daripada berkeliaran di lingkungan luar yang berbahaya. Dari obrolan mereka, Zaza mengetahui bahwa Ilham sangat berbakat dalam menggambar. Gambar-gambarnya sangat indah. Ilham bisa menggambar apapun. Mulai dari manusia yang tampak sangat nyata, kartun, pemandangan, benda, abstrak, apapun. Berangkat dari sana, Zaza mengenalkan Ilham pada gambar digital. Ia meminjamkan tabletnya supaya Ilham bisa menggambar di sana, dan ternyata hasilnya pun tak kalah bagus dengan gambar yang dibuat Ilham secara manual.
“Ham, kamu pernah terpikir untuk membicarakan ini ke Ayahmu? Atau ke Ibumu dulu, terus nanti biar Ibumu yang sampaikan ke Ayahmu?” Ilham menggeleng. “Bakat menggambarmu sangat hebat, sayang sekali kau harus stres di sekolah yang tidak membuatmu nyaman. Kamu bisa baca, bisa belanja, bisa mengurus diri sendiri. Kamu udah punya keterampilan dasar untuk hidup mandiri. Dan itu udah cukup. Bukankah itu tujuan sekolah?” Ilham tidak menjawab.
Zaza meneruskan, “Sekarang kamu tinggal mengembangkan bakatmu. Kamu hanya perlu meningkatkan kemampuan menggambarmu. Ini kelebihanmu. Jadilah hebat, sampai orang-orang terlalu sibuk mengagumi kelebihanmu ini, sehingga tidak punya waktu untuk melihat kekuranganmu.”
Ilham tidak memberikan tanggapan apapun. Sunyi di antara mereka bertahan cukup lama. “Jadi kamu memutuskan untuk meningkatkan kemampuan musikmu, dan merasa sudah cukup dengan pengetahuan dasar saja?” Ilham balik bertanya dan dijawab Zaza dengan anggukan kepala. “Kamu membuat musik?” Lagi-lagi Zaza mengganggukkan kepala menjawab pertanyaan Ilham. “Bagaimana caranya? Kan not musik pakai angka?”
Zaza menepuk bahu Ilham. “Kamu tuh beneran bodoh apa gimana? Kan ada not balok!”
“Oh iya, ya”
“Aku ngga sehebat kamu, Ham. Gambarmu sangat luar biasa. Aku yakin kamu bisa punya masa depan yang baik dengan gambarmu. Musikku tidak sehebat yang kamu bayangkan. Tapi aku punya mimpi…” Zaza berhenti sejenak sebelum melanjutkan kalimatnya. “Aku pengen punya sekolah musik, lalu murid-muridku memainkan musikku.” Zaza menatap Ilham dan tersenyum. “Aku ngga harus terkenal sebagai musisi. Aku hanya ingin terus bermain musik dan bisa hidup dari musikku.”
***
Beberapa hari kemudian, pintu rumah Zaza digedor dengan sangat kuat. Papa dan Mama Zaza yang baru saja pulang kerja terkejut dan tidak jadi berganti pakaian. Mereka berjalan cepat membuka pintu. Tampak seorang laki-laki seusia Papa Zaza. Di belakangnya Ilham berdiri sambil menundukkan kepala. Ternyata laki-laki itu adalah Ayah Ilham. Ia datang dengan marah-marah karena Ilham ketahuan bolos sekolah dan datang ke rumah Zaza. Ayah Ilham menuding Zaza membawa pengaruh buruk pada Ilham. Ia juga menyuruh Papa dan Mama Zaza untuk lebih mengajarkan sopan santun pada Zaza. Papa dan Mama Zaza menghadapi semua perkataan kasar itu dengan lembut. Mereka sama sekali tidak menyangkal atau mencoba menjelaskan, hanya mendengarkan. Hingga pada akhirnya Ayah Ilham memberikan ultimatum agar Zaza tidak menemui Ilham lagi, dan sebaliknya.
Ayah Ilham bahkan tidak sudi masuk ke dalam rumah Zaza dan membicarakan semuanya dengan lebih tenang. Ayah Ilham hanya berbicara setengah berteriak di depan pintu. Setelah ultimatum itu, ia menarik Ilham dan pergi. Setelah kejadian itu, Zaza masuk ke kamarnya dan menangis. Ia kehilangan temannya. Papa dan Mama berusaha menenangkan Zaza, namun tak berhasil. Zaza tenggelam dalam kesedihannya.
Tengah malam, Zaza terbangun, tenggorokannya kering dan sakit akibat terlalu lama menangis. Ia mengambil botol minum di meja belajarnya. Saat itulah ia melihat buku sketsa milik Ilham yang tertinggal. Zaza membuka buku sketsa itu lembar demi lembar. Ia mengagumi setiap goresan pensil Ilham yang indah. Zaza terhenti di sebuah sketsa keyboard listrik, mirip dengan milik Zaza yang ada di ruang tengah rumahnya. Sketsa itu belum selesai, namun bukan itu yang menarik perhatian Zaza. Tulisan di sudut bawah kertas “Jadilah hebat.”
Ya, Ham. Aku akan menjadi hebat dengan musikku. Semoga kamu juga akan menjadi hebat dengan gambarmu.
***
Tiiing…
Sebuah pesan masuk di Whatsapp Ilham. Ia membukanya, pesan gambar, setelah loading sebentar, tampak itu adalah poster acara musik.
“Datang ya. Aku kenalin deh sama temanku. Dia organizer acara itu. Yayayaya?” Tia, teman kerja Ilham.
“Cantik ngga?” Ilham bertanya sambil menaruh kembali ponselnya ke dalam saku celana.
“Cantiiik…tenang aja. Aku ngga bakal ngejodohin kamu dengan sembarang orang kok.”
***
Di sinilah Ilham, duduk di samping Tia, di sebuah ruang auditorium kecil. Ilham cukup terkejut melihat kursi penonton yang penuh. Awalnya ia mengira ini hanya acara sederhana, semacam panggung seni anak kecil saja. Ternyata ini adalah acara rutin yang cukup banyak peminatnya.
Penerangan auditorium itu perlahan dibuat redup, kemudian sebuah lampu sorot diarahkan ke tengah panggung. Di sana muncul seorang perempuan dengan gaun biru.
“Itu temanku.” Ada perasaan bangga dari ucapan Tia barusan. Ilham masih menatap perempuan bergaun biru yang kini mengangkat microphone untuk bicara itu.
“Halo semuanya. Selamat datang di Panggung Musik Baza. Saya Zalia Putri Nasution, Direktur Sekolah Musik Baza dengan senang hati menyambut Anda semua.”
DEG!
Zaza?
***
Panggung musik itu telah selesai. Ilham terpesona dengan musik yang dimainkan anak-anak usia sekolah dasar itu. Sangat indah. Kini ia berdiri di pinggir koridor, menepi dari lalu-lalang orang-orang yang sibuk di belakang panggung. Tia bersikeras ingin memperkenalkannya pada temannya itu. Ilham merasa tidak nyaman dan takut mengganggu, namun ia juga penasaran. Mungkinkah dia Zaza?
“Za!” Tia berteriak sambil melambaikan tangannya pada seseorang. Perempuan bergaun biru! Ia mendatangi Tia dan memeluknya.
“Aaa…makasih udah datang.” Perempuan itu masih belum menyadari kehadiran Ilham.
“Aku kan udah janji akan datang.” Tia mengelus bahu perempuan itu, melepas rindu. Hingga akhirnya Tia tersadar. “Oh! Aku bawa teman. Kenalin, ini Ilham Bagus Hermawan, temanku sesama animator. Dia kerja di Jepang, tapi ini lagi mau kerjasama dengan aku.”
Perempuan itu tersentak.
Ia menatap laki-laki yang ada di samping Tia. Ilham membalas tatapan itu. Mereka tersenyum.
“Hai, Ham.”
“Hai, Za.”
“Kalian kenal?” Tia terkejut.
“Kamu hebat” Zaza dan Ilham serentak memuji satu sama lain, lalu kembali tersenyum.
*TAMAT*