Terima Kasih

Adi duduk meringkuk di sudut kamar. Gelap. Jendela tertutup gorden, pintu dikunci, sebuah botol obat terbuka dengan beberapa butir obat yang berserakan. Tampaknya seseorang terburu-buru mengambil obat itu. Entah sudah berapa lama Adi seperti itu. Frustrasi dengan dirinya sendiri. Lagi-lagi ia gagal memaparkan dirinya dalam sebuah interaksi sosial sederhana dengan orang lain. Rambutnya berantakan, akibat ditarik dan dijambak kasar oleh dirinya sendiri, menyalahkan dirinya yang lemah. Bodoh. Lemah. Kenapa kau tidak bisa mengatasi kecemasan ini? Aaaargh… Adi masih berkelut dengan pikirannya sendiri, semakin menyudutkan dan mengkerutkan dirinya lagi. 

Beberapa waktu kemudian, Adi mengangkat kepalanya. Ia menghela nafas dengan keras. Setelah melihat sekeliling, Adi akhirnya bangkit berdiri dan berjalan ke arah kulkas. Ia haus. Sayangnya, air minumnya habis. Adi menghela nafas lagi. Cukup lama ia membiarkan pintu kulkas terbuka dihadapannya, cahaya dari dalam kulkas cukup menerangi sebagian ruangan. Adi sedang berdebat dengan pikirannya. Aku harus ke membeli minum dan makanan. Tapi dunia luar sangat menakutkan, aku bisa mendapat serangan panik kapan saja. Aku hanya perlu memastikan tidak berpapasan dengan orang-orang. Tapi aku harus berpapasan dengan kasir. Setelah menimbang-nimbang, Adi akhirnya mengambil botol obat dan tas belanjanya. Aku harus belanja! 

Hanya beberapa langkah saja keluar dari unit apartemennya. Adi merasakan keringat sebesar biji jagung mengalir di tengkuknya. Tangannya menjadi sangat dingin. Tanpa perlu melihat cermin, Adi cukup yakin penampilannya saat ini sangat mengerikan dengan wajah pucat pasi dan bibir kering. Kakinya pun mulai kehilangan kekuatan sedikit demi sedikit. Sensasi fisik yang tidak menyenangkan itu semakin parah ketika ia membuka pintu mini market franchise tidak jauh dari gedung apartemennya. Jantungnya berdebar sangat kencang, matanya terasa panas, tenggorokannya sakit seperti ada yang mencekik. Dari luar tadi Adi melihat ada dua orang di dalam mini market, seorang kasir dan seorang pelanggan. Aku pasti bisa menghindari mereka. Adi mengambil keranjang belanja, lalu berjalan ke bagian yang berjauhan dengan pelanggan lain tadi. 

“Selamat datang…” suara kasir menyambutnya, tak dihiraukan oleh Adi. Ia sibuk memasukkan beberapa makanan dan minuman yang disukainya dengan buru-buru. Ia tidak ingin berlama-lama berada di luar apartemen seperti ini, namun ia harus bertahan hidup. 

Setelah memastikan bahwa pelanggan sebelumnya telah selesai di kasir dan keluar, Adi berjalan ke kasir, menyerahkan keranjang belanjanya sambil menunduk, menunjukkan gestur ‘jangan ajak aku bicara, cepat selesaikan transaksinya saja.’ Akan tetapi, entah apa yang mendorong Adi untuk mengangkat kepalanya dan melihat langsung ke wajah si kasir. Tampak di hadapannya, seorang gadis yang sepertinya berusia sama dengan Adi, rambut gadis itu diikat ke belakang, riasan wajahnya tipis, ada tahi lalat kecil di dekat mata kirinya. Tunggu dulu! Wajah ini terasa familiar. 

“Dua ratus tujuh puluh sembilan ribu. Tunai atau kartu, Kak?” Tanpa disadari, kasir itu telah selesai menghitung seluruh belanjaan Adi. 

“Eh? Eee…kartu” Adi tergagap menjawab sambil menyerahkan kartu debitnya. 

Transaksi selesai. Adi berjalan keluar mini market. Pikirannya seperti sedang berpikir, tapi juga terasa seperti kosong. Entahlah. Beberapa meter dari gedung apartemennya. “HAH!” Adi berteriak. Sadar ia dapat mengundang perhatian, ia segera melihat sekitar, beruntung tidak ada orang di sana. Adi melihat tangannya, meraba wajahnya, memegang leher dan tubuh bagian atasnya seolah sedang memindai. Aku tidak merasakan sensasi cemas! 

*** 

Adi keluar dari balik pintu kaca dengan wajah cerah pertamanya sejak sekian lama. Ia memegang kertas di tangan kanannya dengan erat. Di bagian judul tertulis “Rencana Eksposur Kecemasan”. Aku harus berusaha lebih keras. Harus! Adi membaca kalimat di belakang nomor satu, “Berdiri di keramaian selama 15 menit.” Adi mengangguk mantap. Pertama setelah empat belas bulan lamanya, Adi merasa bersemangat. 

Dan di sinilah Adi. Berdiri di tengah hall sebuah mal. Ia mengepal kedua tangannya. Buku-buku jarinya merah. Adi berusaha keras menahan semua sensasi fisik tidak menyenangkan yang dirasakannya. Sebentar lagi, sebentar lagi. Tahan…tahan…Kamu baik-baik saja. Kamu baik-baik saja. Adi terus menenangkan pikirannya sendiri. 

Sudah satu tahun lebih Adi didiagnosis gangguan kecemasan setelah peristiwa memalukan yang dialaminya ketika rapat direksi di kantornya. Kejadian itu kemudian mengingatkan Adi kembali pada peristiwa memalukan lainnya yang terjadi pada saat sekolah dasar dulu. Setelah itu, Adi sering mengalami kecemasan luar biasa setiap kali berpapasan dengan orang lain. Hal ini membuatnya kemudian menghindari semua interaksi dan komunikasi sosial, hingga akhirnya delapan bulan lalu Adi memundurkan diri dari dewan direksi dan menyembunyikan dirinya di dalam apartemen. 

Adi mendapatkan terapi dengan obat dari seorang psikiater. Akan tetapi, setelah empat bulan, Adi merasa dirinya akan terjebak dalam ketergantungan obat dan hidup yang menyedihkan jika ia tidak berusaha menyembuhkan dirinya. Adi akhirnya menemui psikolog dan disarankan untuk menjalani terapi kognitif dan perilaku. Adi ditantang untuk mengeksposur dirinya sendiri pada hal-hal yang memicu kecemasannya, pada hal-hal yang selama ini ia hindari. Ini adalah bulan ketiga sejak terapi pertamanya dan Adi tidak pernah berhasil. Ia selalu merasa tidak mampu menahan sensasi fisik yang dirasakannya sehingga menyerah, kembali mengkonsumsi obatnya, dan menyembunyikan dirinya lagi. 

“Haaah…” Adi menghembuskan nafas lega. Ia berhasil melewati 15 menit ini. Ia berjalan ke sudut mal dengan lemah. Energinya seperti terkuras habis, namun ada senyum muncul di wajah Adi. Aku berhasil. 

*** 

Lima bulan kemudian. 

Adi sudah berdiri selama sepuluh menit lebih diparkiran mini market. Terus mengulang dalam pikirannya, berusaha meyakinkan diri bahwa semuanya akan baik-baik saja. Setelah mengatur nafasnya, Adi akhirnya mengambil langkah pertamanya dan mulai berjalan ke mini market. Ia mengambil botol air mineral dan segera menuju kasir. 

“Ini saja, Kak?” Kasir itu bertanya sesuai SOP, tidak menerima jawaban Adi, ia segera memindai harga. “Enam ribu rupiah. Uang pas saja kalau ada, Kak” Adi memberikan uang sepuluh ribu rupiah. 

“Hai Bella…” Adi berhenti sejenak sebelum melanjutkan. “Bella Putri Kuncoro?” Kasir itu mengangkat kepalanya dan menatap langsung ke mata Adi. Adi melihat mata gadis itu bergerak-gerak seperti menelusuri wajahnya, mencari tahu siapa gerangan ini. “Masih ingat aku? Adi Bagus Sastro?” Adi melihat senyuman membentuk di bibir gadis kasir itu. 

*** 

“Woaah…dunia ajaib sekali ya.” Gadis di sebelah Adi berkata dengan nada penuh ketakjuban. Mereka duduk di kursi taman di dekat apartemen Adi. “Jadi kamu sekarang tinggal di sini?” Tanya gadis itu pada Adi. 

“Iya.” Jawab Adi singkat. 

“Hebat kamu” Puji gadis itu. Adi hanya terkekeh sebentar. “Jadiii…kamu udah tahu aku bekerja sebagai kasir di sana sejak lima bulan lalu?” Adi mengangguk menanggapi Bella yang berusaha mencerna ceritanya barusan. “Tapi karena gangguan kecemasan yang kamu alami, kamu berusaha menyembuhkan diri dulu supaya bisa ngomong sama aku tanpa gemetaran?” Adi mengangguk lagi. “Terus…sekarang kamu udah sembuh?” Kali ini Adi tidak mengangguk atau menjawab apapun. 

“Bella…” Adi tidak dapat menyembunyikan kesan tergesa-gesa dan keingintahuannya yang teramat besar. “Ke mana kamu menghilang waktu SD dulu?” Adi akhirnya melontarkan pertanyaan yang sangat ingin ditanyakannya. Pertanyaan yang menjadi bahan bakar semangatnya untuk menjalani semua rencana eksposur kecemasan yang sangat tidak menyenangkan itu. Pertanyaan yang membuatnya bertekad sangat kuat untuk sembuh dari gangguan kecemasan yang telah ‘memenjara’ dirinya selama setahun lebih. 

“…” Bella diam cukup lama. Adi tidak menyela, berusaha memahami bahwa Bella membutuhkan waktu untuk bercerita. “Aku pindah ke Lampung. Papa menggelapkan uang perusahaan. Malu. Walaupun masalah uang gelap itu berakhir secara kekeluargaan. Kami sekeluarga berusaha mengganti uang itu selama bertahun-tahun.” Bella diam cukup lama sebelum akhirnya terkekeh pelan. “Hahaha…kenapa? Kamu nyariin aku ya?” 

“IYA!” Wajah Bella bersemu merah, tidak menyangka menerima jawaban Adi yang sangat jujur dan berapi-api itu. “Aku nyariin kamu, bahkan aku berusaha mencari tahu kamu masuk SMP dan SMA mana. Aku pikir kamu masih di Jakarta. Setelah ada Facebook dan Instagram, aku berusaha mencari akunmu, tapi ngga pernah ketemu.” 

“Aku ngga punya akun media sosial. Hehe…” Mereka cukup lama terdiam sambil menikmati minuman kaleng dan memandangi jalan raya yang tak pernah sepi. “Eh, tapi kenapa kamu nyariin aku?” Bella tiba-tiba memutar tubuhnya menghadap Adi. “Aku punya utang ya, ke kamu?” Adi tersedak mendengar itu. 

“Ehm…engga. Malah aku yang punya utang ke kamu.” 

“Hah?” 

“Makasih ya, waktu itu kamu melindungi dan membela aku. Padahal seluruh kelas mengejek aku yang mengompol, tapi kamu memarahi mereka dan menyuruh mereka berhenti mengejekku.” Adi berhenti sebentar. “Kamu ngga tahu seberapa memalukan kejadian itu bagiku, bahkan mungkin itu salah satu kejadian traumatis yang memicu gangguan cemasku kemarin.” Adi menyesap minumannya sebelum melanjutkan. “Aku utang terima kasih ke kamu Bel, dulu kamu adalah teman yang baik, dan sekarang kamu adalah pendorong semangatku untuk sembuh dari gangguan cemasku. Terima kasih, Bel.” 

Bella tersenyum, namun air mata yang menggenang di sudut matanya memantulkan cahaya lampu kendaraan, membuat Adi salah tingkah. Ia pikir ia telah salah bicara. 

“Bel?” 

“Hahaha…” Bella tertawa pelan. “Aku juga, Di. Terima kasih.” Bella menatap Adi. “Aku selalu berpikir bahwa hidupku menyedihkan. Apalagi akhir-akhir ini, aku merasa hidupku melelahkan sekali. Setelah bertahun-tahun harus melunasi utang yang sebenarnya bukan tanggung jawabku, sekarang aku harus menghidupi diriku sendiri. Aku sering membanding-bandingkan diriku dengan orang-orang yang sekolahnya tinggi, yang pekerjaannya bagus. Aku merasa gagal. Beberapa kali aku mengutuk hidupku, bahkan menyalahkan Tuhan. Tapi kamu, Di… Kamu tiba-tiba muncul dan cerita bahwa kamu berusaha sangat keras untuk ngomong terima kasih ke aku. Terima kasih untuk kejadian yang bahkan ngga begitu aku ingat.” 

“…” Adi tahu Bella belum selesai bicara. 

“Aku sadar, aku udah terlalu sombong ya, Di? Sombong sama Tuhan, sombong sama orang-orang yang hidupnya lebih sulit dari aku. Terima kasih ya, Di. Kamu mengingatkan aku, bahwa setiap orang punya kesulitannya masing-masing. Dan kenyataan bahwa kita masih berusaha menghadapi kesulitan itu adalah bukti bahwa kita memiliki kemampuan. Kenyataan bahwa kamu masih mengingatku dan masih menganggapku sebagai teman. Itu hal yang harus selalu disyukuri. Ya kan, Di?” 

Adi mengangguk. Ia menatap Bella, lalu menengadahkan kepalanya memandang langit Jakarta yang gelap tak menampakkan bintang barang satu saja. Terima kasih. Adi bicara dalam hati entah pada siapa. Ia hanya ingin bersyukur bahwa gangguan kecemasan yang dialaminya telah membawanya dalam sebuah perjalanan yang mempertemukannya pada teman masa kecil, Bella, yang sangat ingin ditemuinya sejak lama. Sebuah perjalanannya yang pada akhirnya membawanya dalam rasa syukur atas hidup yang dimilikinya. Terima kasih.

*TAMAT*