Reply 1988
Ini adalah drama favorit nomor satuku sebelum dikalahkan oleh Hospital Playlist.
Semingguan ini aku menonton ulang drama ini bersama Edwan. Dan...aku masih saja menangis di beberapa scene yang membuatku menangis ketika pertama kali menontonnya. Pun aku juga masih tertawa di beberapa scene yang memang lucunya bikin sakit perut.
Kalau aku suka Hospital Playlist karena ceritanya yang ringan, hangat, lucu, dan chemistry antar pemain yang luar biasa. Aku suka Reply 1988 karena kisahnya yang relateable dengan kehidupan sehari-hari.
Kisahnya tentang tiga bersaudara yang sedikit banyak mengingatkanku pada diriku sendiri dan adik-adikku. Bagaimana Reply 1988 menggambarkan karakter anak pertama, kedua, dan ketiga layaknya gambarakan kepribadian anak berdasarkan urutan lahir seperti yang dikemukakan ahli psikologi, Adler. Anak pertama yang mengemban banyak harap dan kebanggaan orang tua, yang mau tidak mau menjadi contoh dan teladan, ngga hanya untuk adik-adiknya tapi juga untuk lingkungannya. Anak kedua yang tumbuh menjadi yang paling kuat, paling ceria, paling kreatif, dan paling caring. Anak bungsu yang disayang, yang mau ngga mau jadi 'pesuruh', yang hanya dituntut untuk menjadi anak baik dan memiliki keleluasaan untuk mendalami minatnya.
Bagaimana indahnya hidup bertetangga, saling antar dan bertukar lauk, saling meminjam perkakas, saling kumpul dan bercanda ria.
Bagaimana romantisme suami istri di usia tua, lika-liku menopause, post-power syndrome, kerinduan dan kehilangan sosok orang tua dan anak, kebahagiaan-kebahagiaan kecil dari hal-hal dan orang-orang sekitar.
Drama ini menyediakan banyak sekali momen refleksi. Tentang cara mengasuh anak laki-laki dan perempuan, tentang sekelumit hubungan mertua dan menantu, tentang kasih sayang orang tua dan anak bahkan setelah menikah, tentang persahabatan, tentang rasa cinta.
Ada pula pembelajaran mengenai paradoks waktu. Bahwa dimensi waktu kita dengan orang lain itu berbeda. Ada orang yang setelah lulus SMA langsung diterima kuliah, ada yang perlu mengulang dua hingga tiga kali untuk berkuliah. Ada yang menikah di usia muda, ada yang menikah di usia 30 atau 40 tahun. Ada yang sudah menghasilkan uang sejak remaja, ada yang baru membangun usaha di usia kepala tiga. Tidak ada yang terlalu cepat atau terlalu lamban. Tidak ada pula yang lebih baik atau lebih buruk. Ukurannya bukan orang lain, tapi diri kita sendiri. Jadi, selalu melihat ke diri kita, ke usaha kita, untuk menilai hasil kerja kita.
Ah! Scene yang ngga pernah gagal bikin aku mewek adalah episode terakhir, saat pernikahan Bora dan Sun Woo, ketika Bora tak berhenti menangis setelah bertemu mata dengan ayahnya, dan setelah membaca surat dari ayahnya. I feel you, Bora-nim~
Drama ini akan selalu punya tempat istimewa di hatiku. Won Ho PD-nim, Woo Jung jagga-nim, kalian Jjang!
.
.
.
Rating this drama in my opinion ⭐️⭐️⭐️⭐️⭐️