Ngga perlu mikirin masa depan anak

"Saya khawatir kalau dia begini, nanti besarnya gimana?"

"Ya... saya ngajarinnya supaya dia siap nanti pas udah gede"

"Takutnya kalau sekolahnya ngga benar, nanti pas udah dewasa menyesal"

Ini adalah sebagian kecil contoh ungkapan yang disampaikan orang tua yang datang ke aku untuk konseling mengenai kondisi anaknya.

Macam-macam. Ada yang anaknya dicurigai disleksia, ada yang khawatir anaknya masih suka tantrum di usia 9 tahun, ada yang aware kemampuan baca tulis hitung anaknya tertinggal dibanding anak-anak seusianya. 

Dalam sesi konselingku, aku selalu berusaha memetakan harapan orang tua terhadap anak, pandangan anak terhadap orang tuanya, dan gap yang terjadi antara kedua hal ini. Dan seringkali, konflik ini muncul karena pertama, apa yang diharapkan orang tua beyond from the task development yang menjadi beban anak seusianya dan kedua, karena belum optimalnya tugas-tugas perkembangan di usia sebelumnya.

Misal, anak laki-laki kelas 5 SD, usia 10 tahun 8 bulan. Harapan orang tua anaknya menjadi anak yang sukses kelak ketika dewasa, jadi ekspektasi orang tuanya adalah anaknya excel di semua pelajaran di sekolah, pintar bergaul, disiplin, dan sebagainya. Datang ke psikolog dengan keluhan anaknya tertutup, kalau ditanya pun jawabnya singkat-singkat banget, pelajaran di sekolah biasa saja, sering melamun, susah konsentrasi. Setelah dilakukan pemeriksaan psikologis, diketahui bahwa kemampuan intelektual anak termasuk kategori rata-rata, dengan kemampuan konsentrasi yang cukup untuk anak seusianya. Artinya... permasalahan bukan karena anaknya ngga bisa tampil optimal academically, tapi ketika ditelaah hasil proyeksinya, tampaklah bahwa ini anak punya konsep diri yang rendah, dia punya cita-cita dan harapan besar untuk membanggakan diri sendiri dan orang tua, tapi pengalaman-pengalaman sebelumnya membuat dia merasa bahwa usahanya selalu saja kurang. Pada akhirnya ini menjadi circle of hell tanpa akhir. Orang tua pengen anaknya belajar yang benar, ikut kegiatan-kegiatan ekskul yang bagus, merencanakan masa depan, tapi anak merasa kurang diapresiasi. Padahal, self-esteem, self-confident, sense of belonging, caree planning, itu sangat dipengaruhi dengan emotional support dari orang tua di usia dini hingga pra-puber. Kalau konsep ini tidak ajeg, maka setelah anak menginjak usia remaja dan selanjutnya, ia hanya akan membuat keputusan berdasarkan rasa suka dan tidak sukanya, tanpa pertimbangan lebih lanjut yang lebih matang dan bertanggung jawab.

Living in the moment. Ngga perlu terlalu berpikir keras atau terlalu mengkhawatirkan masa depan. Toh hukum ketiga Newton menjelaskan bahwa reaksi akan selalu setara dengan aksi yang dilakukan. So, hasil di masa depan sedikit banyak bisa diprediksi dari bagaimana performa di masa sekarang.

Selain itu, prinsip perkembangan manusia itu hierarki linear. Artinya, tugas selanjutnya tidak akan terselesaikan dengan baik kalau tugas sebelumnya belum tuntas.

Cukup fokus dengan tugas-tugas perkembangan anak saat ini, matangkan, tuntaskan. Jadi anak siap untuk menyelesaikan tugas-tugas perkembangan selanjutnya. Begituuu terus.

Misal, saat ini anak usia 3 tahun, tugas perkembangannya adalah berdiri dengan seimbang bahkan di papan kecil atau berjinjit, memakai baju dan celana kaos (tanpa kancing/resleting) sendiri, mampu berkonsentrasi paling tidak 8-9 menit, lulus toilet training, menguasai 500-900 kata, bicara setidaknya 5 kata dalam satu kalimat, pengucapan ketika bicara sudah jelas dan dimengerti. Lalu ternyata, anak belum beres toilet training-nya, dan kalau ngomong masih belum cukup jelas. Jangan langsung ngejar anak bisa mengenal angka dan huruf, terus masukin anak ke kelas calistung. Itu tugas perkembangan usia selanjutnya. Nanti dulu! Beresin dulu tugas perkembangan di usia ini. Kenapa?

Karena kalau engga diberesin, toilet training yang tidak lulus dengan sempurna, dan kemampuan bicara jelas yang tidak dimatangkan dengan baik, bisa menjadi salah satu indikator signifikan dalam gangguan emosi dan perilaku, serta gangguan komunikasi di usia-usia selanjutnya.

Ah, ngomong begitu, kayak aku bisa baca masa depan aja. NO! This is based on scientific research from all around the world, from different times, cultures, and backgrounds. But, the pattern is the same!

The point is... parenting adalah ilmu yang sebenarnya dibawa secara naluri oleh setiap manusia. Kemudian diteruskan dari satu generasi ke generasi selanjutnya. Kemajuan zaman memungkinkan para ahli untuk mencatat dan merekam naluri dan pengetahuan ini yang lalu disadari sebagai sebuah pola yang dilakukan oleh semua manusia, terlepas dari perbedaannya.

Tapi kemajuan zaman pula: akses informasi yang luas hingga sering membuat overwhelmed dan kebingungan dalam menyaring informasi yang benar dan salah, atau informasi yang diperlukan dan tidak diperlukan; persaingan untuk bertahan hidup; dan tuntutan sosial. Seringkali kemudahan yang ditawarkan oleh kecanggihan membuat kita lupa dengan hal yang paling dasar dan sederhana.

Lagipula, hidup hanya sekali.

Experience menjadi orang tuanya X (si anak pertama) di usia dia 7 bulan ya cuma sekali. Ngga akan bisa diulang dan ngga akan sama dengan experience jadi orang tuanya Y (si anak kedua) di usianya yang ke 7 bulan juga. 

Intinya, nikmati setiap momen, belajar dan improve, bukan untuk masa depan, tapi untuk menyempurnakan momen saat ini. The future will follow.