Dan... ujian itu pun datang
Ternyata terlalu jumawa daku mengatakan kehamilanku mulus dan tanpa tantangan.
Mungkin benar mulus selama trimester pertama dan kedua. Tapi... begitu memasuki trimester ketiga, semua berubah.
Dimulai dengan pergelangan tanganku yang entah sakit karena apa. Mungkin mommy wrist seperti yang muncul di postingan-postingan viral seputar bumil-busui, mungkin juga cedera atau penyakit pergelangan tangan lainnya, yang jelas aku belum konsultasikan ke dokter yang tepat karena lupa mulu setiap ke rumah sakit dan lalai menyepelekan, 'ah ngga kenapa-kenapa'. Tapi sekarang setelah melahirkan, musti gendong bayi tiap hari, berasa banget yang ngga dikenapa-kenapain ternyata kenapa-kenapa.
Hoo...tidak berhenti di situ aja.
Yang awalnya bahagia pulang dari ngerayain anniversary pernikahan yang keenam, pulang-pulang ternyata aku ISPA. Karena disertai dengan asma, di rumah ngga ada nebu, jadilah aku dirawat inap selama tiga malam dua hari. Bahagianya secara drastis berganti cemas, rasa bersalah, dan tak berdaya. Pokoknya cuma bisa banyak-banyak berdoa semoga janin di dalam kandungan ngga terpengaruh dan tetap tumbuh sehat.
Beberapa minggu setelah pulang dari rumah sakit, Mamaku akhirnya datang jauh-jauh dari Jambi ke Balikpapan. Si Mama yang pensiunan bidan veteran yang telah melanglang buana mengabdi selama lebih dari 30 tahun memberikan pelayanan kesehatan di rawat inap kebidanan, rawat inap VIP, kamar operasi, ICU, hingga akhirnya diasingkan ke bagian administrasi rumah sakit. Dari sejak memberikan kabar kehamilanku, aku dan Mama udah sepakat kalau Mama akan nemenin dan jagain aku mulai usia kehamilan 37 minggu karena biasanya dari sana aku bisa melahirkan kapan saja. Dengan adanya Mama di sini, setidaknya aku dan Edwan bisa tenang, kami ngga hanya berdua di tanah rantau ini.
Tapi, lagi-lagi... baru saja merasa tenang dengan kedatangan Mama. Ngga ada angin, ngga ada hujan, aku bentol-bentol dan gatal sekujur tubuh. Ngga ada makan makanan yang men-trigger alergi, ngga ada pegang atau bersentuhan dengan sumber alergen. Maka dugaan terakhir adalah ini reaksi hormonal. Ya Allah... makin insecure lah daku dengan tubuh fisik yang makin melebar, stretch mark, dan sekarang gatal yang mungkin akan meninggalkan bekas.
Walau Mama dan Edwan selalu memberikan dukungan, ngga tanggung-tanggung pula. Sejak datang, Mama selalu masak untuk memastikan asupan gizi terutama protein hewaniku terpenuhi dengan baik. Edwan bahkan menyatakan kesiapannya mensponsori perjalananku mengembalikan tubuh fisikku pasca melahirkan nanti. Tapi tetap aja sih, pengaruh hormon buat mood-ku ngga keruan dan rasa percaya diriku awur-awuran.
Memasuki usia kehamilan 38 minggu, aku, Edwan, dan Mama mulai was-was. Karena aku sama sekali tidak merasakan gelombang cinta tanda-tanda persalinan semakin dekat. Gerakan janin masih kuat, tapi kontraksi-kontraksi palsu yang mengantar kemunculan pertanda lainnya bahkan sangat jarang muncul. Dari USG terakhir pun, walau posisi janin sudah bagus di bawah dan sudah sedikit masuk ke panggul, tapi di pemeriksaan selanjutnya di usia kehamilan 39 minggu, posisi janin tidak mengalami kemajuan memasuki panggul lebih dalam. Tapi karena dari hasil bacaan tampak ketuban masih banyak dan jernih, serta janin juga masih aktif, maka dianggap aman, dan kami diminta menunggu saja tanda-tanda persalinan muncul.
Sehari setelah HPL aku seharusnya ada jadwal kontrol dengan dokter yang telah membersamai perjalanan kehamilanku dari awal hingga saat ini, namun apa mau dikata, jadwalku mundur hingga dua hari karena sang dokter sakit dan tidak bisa praktik hingga waktu yang tak dapat dipastikan. Dan... entah firasat apa yang menggerakkan, aku dan Mama memutuskan untuk kontrol dengan dokter lain untuk memastikan janinku baik-baik saja. Setelah menunggu lama sekali dari jadwal kontrol yang dibuat sore namun baru bertemu malam, karena sang dokter baru ternyata ada tindakan emergency di rumah sakit lain tempat ia berpraktik, akhirnya bertemulah kami dengan janin kami melalui USG. Wallahu'alam... ketubanku keruh dan sudah tinggal sedikit. Pantas hari itu aku merasa gerakan janin jauh berkurang tak seaktif biasanya. Jantungku rasanya tak keruan, tangan gemetar, takut kalau ia kenapa-kenapa. Sang dokter baru yang kupilih ini segera menjadwalkan operasi caesar malam itu juga karena aku tidak mau diinduksi.
Lagi-lagi jadwal operasiku molor karena ternyata sang dokter baru lagi-lagi harus ke rumah sakit lainnya untuk tindakan partus. Pukul 22.00an aku masuk ke ruang operasi masih berjalan biasa, ganti baju ke gaun operasi, di-briefing oleh dokter anestesi, naik sendiri ke meja operasi, merasakan jarum memasuki tulang belakang, dan perlahan tubuh bagian bawahku kebas tak berasa. Entah karena kelalaian staf atau bagaimana, aku bisa melihat seluruh proses pembedahan perut hingga ke rahimku melalui pantulan di sela-sela lampu meja operasi. Mungkin karena terbiasa menonton drama medis dan forensik, serta mendengar cerita atau melihat foto dan video tindakan Mama selama dulu di kamar operasi. Aku tidak merasa takut melihat tubuhku disayat, berdarah, dan diubek-ubek.
Namun, tubuh kebasku menjadi semakin lemas ketika bayiku dikeluarkan namun dokter obgyn, dokter anak, dan staf yang ada di ruangan bereaksi terkejut. Dan aku melihat bayiku biru dan hanya menangis lirih. Tak lagi kupedulikan perutku yang masih menganga merah terluka besar. Aku hanya melihat bayiku yang masih ditangani dokter anak dan bidan tak berkesudahan. Aku menangis dan berdoa, "Nak...dirimu telah kuat membersamai Mama di dalam perut selama ini, kuat terus ya Nak, kita sama-sama lagi sampai nanti-nanti"
Tubuhku gemetar kedinginan hebat reaksi naluriah pasca melahirkan plus obat bius yang perlahan hilang. Bayiku dibawa pergi ke NICU tanpa pernah kusentuh sekalipun sejak ia meninggalkan rahimku. Keluar dari ruang operasi, kujumpai wajah Edwan yang lelah dan berusaha tegar, tangisku pecah sekali lagi. Ujian itu datang... karena mungkin menurut Allah aku dan Edwan mampu...